PUISIKU BELANTARA
Kelam dan angin lalu menyapa diriku
Menggigil juga ruang di mana dia yang kuingin,
Malam tambah merasuk, rimba jadi semakin hangat
Di belantara Dawe, Dawe kakinya pinggang gunung
(tempatku sampai
juga deru dingin)
Aku berbenah dalam kamar, dalam diriku jika kau datang
dan aku bisa lagi
lepaskan kisah baru padamu;
kini hanya tangan kedinginan yang bergerak lantang
Tubuhku diam dan sendiri, cerita pun berlalu beku.
Rumahku dari unggun api timbunan puisi
Kaca jernih dari luar segala nampak
Kulari dari gedung pingitan pengikat jiwaku
Aku tersesat tak menemui jalan keluar
Puisiku kudirikan manakala tiba senja
Dan dipagi saat terbang entah ke mana
Rumahku dari unggun api timbunan puisi
di sini aku beranak pinak lewat rahim isteri
Rasanya lama lagi, datangnya segera datang
Aku tidak lagi meraih petang
sendiri
badanku tak berlumuran
kata manis madu
Dari dalamnya ketulusan cinta pada rimbaku
Aku dan rimbaku bersama tiba di puncak
belantara tak terbayarkan nilai dan rasanya
Bersama sinar fajar membelah kebutaan pagi
Aku dan rimbaku tetap membatu bertumbuh lumut
Aku dan rimbaku menari dan tetap tak peduli
Masih dari relung pusat jantung dan paru bumi
Meski sepasang mata membentuk garis
Mengamati kami dengan iri dari sisi tebing curam
Bersama gugurnya daun-daunku dari dahan
Surabaya, 13
September 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar