Kamis, 25 November 2010

AKU TAK MENJUAL GAWANG JANGAN MENAWAR

Tak akan aku masuk pola permainanmu
Apalagi hanya sekedar untuk kau ajak bermain-main
Hanya dalam kurun dua kali empat puluh lima menit
Bola ini sekarang menempel lekat pada kuasa kakiku
Aku ini pemain sekaligus wasit bagi perlombaan hidup


Andaikan bola kutendang jauh pun
Akan masih tetap jatuh dalam lapangan permainan
Andai bola kutendang masuk gawang sendiri pun
Kartu merahku tak akan membunyikan peluit
Karena dalam sakuku semua kartu berwarna merah
Aku ini pemain sekaligus penentu kemenangan dan kekalahanmu


Kuperlakukan diriku seperti aku sendiri
Bukan menjadi duniamu yang hanya berlari
Tanpa berusaha menggiring laju bola
Apalagi menyentuh dan melesatkannya
Yang hanya melompat-lompat kegirangan
Tanpa tahu apa musabab kegirangannya
Aku ini pemain sekaligus pemandu sorak- soraimu


Pantang bagiku menawarkan lebih lagi menjual obral
Harga nurani martabat pribadi padamu
Dan hanya akan kau tawar dengan liciknya muslihatmu
Tak hendak kujual semu samarnya tanda jasaku
Yang hanya akan kau gadaikan ulang di pasar hewan
Bursa ular tak bersisik dan tak berkaki penuh kutukan
Aku ini pedagang sekaligus pembeli kadar karat nilai sikapmu


Memberimu kecurangan curi-mencuri waktu
Sama halnya mengasah belati sangkur baja
Yang tajamnya lipat tujuh pisau pencukur rambut
Lalu menyayatkan sendiri pada leher kebijakan dan kebajikanku
Lantas mencabik-cabik hingga porak poranda nilai kebenaran
Yang selama ini menjadi pegangan jalannya perahuku
Aku ini nelayan sekaligus layar penentu arah anginku


Aku masih manusia apa adanya tetapi punya jiwa
Ada keinginan sama denganmu tetapi beda nilai rasanya
Mulutku keras berkata jangan dan tidak meski sumbernya bisikan
Sebab nuraniku pun sampaikan hal yang sama seperti itu
Jalan pikirku belum pernah sekalipun terasa sakit
Apalagi sampai hilang arah
Bahkan seperti baru saja terangkai
Belum dihanguskan api dunia
belum leleh oleh panas ambisi
Aku ini pembawa berita sekaligus kamera perekamnya


Memang sajianmu sempat mendesak air liurku
Bahkan siapa pun yang melihatnya meski sepintas lalu
Muda putih tak ada noda sengatan matahari
Beraroma keharuman pada sekujur lekuk tubuh
Dan berkesempatan memangku dunia dari kutub hingga sumbunya
Namun tetap saja dari dengusan nafas mulut hidungmu
Tercium aneka rupa aroma kematian dan bangkai
Terlebih lagi manakala percakapan akal saling bertemu
Itu pertanda ada kelicikan dan tipu muslihat bersarang
Pada pangkal hingga ujung kemanusiaanmu


Beruntunglah, aku masih menyimpan jiwa yang kutitipkan pada nurani
Tak hanyut oleh derasnya alur bawah sungai kehidupan
Yang berhulu di panas laknat api neraka
Tangan kepekaanku masih berpegang menggelantung
Pada akar tunggang serabut petunjukNya
Karena tanpa kusadari ada kekuatan dari segala kekuatan
Lembut penuh belas kasih menopang dan menegakkanku
Sampai yakin dan percayaku tak lagi melanglang
Menjelajah berpetualang di padang rimba
Dan aku tinggal menunggu saat kedatangan itu.
                             Surabaya, 24 November 2010


PANTUN MENUNGGU UAS


Masuk kelas hati tang tenang
Duduk teratur saling menjauh
Maksud hati berbuat curang
Sibuk bertutur bukunya jatuh


Lembar jawab di atas meja
Bendel soal dibagi Satu
Sukar sangat soal agama
Ketika sekolah tidur melulu


Menengok belakang kawan mencibir
Bertanya jawab bantu –membantu
Elok dan tenang teman berpikir
Mengharap benar malah tertipu


Berkaca pada cermin melengkung
Tampak jerawat gosong wajahnya
Membaca soal pikiran bingung
Tidak menjawab kosong nilainya


MERDUNYA NYANYIAN ISTERIKU

Pagi ini isteriku tercinta senandungkan nyanyian
Syairnya memilukan di dasar relung hati
Pilihan katanya sarat keluhan kiasan kepedihan
Kemasan nadanya penuh isak ratapan nurani
Keharuannya terdengar halus dan merdu ditelingaku
Tangga nadanya teriakkan beratnya beban hidup
Dan semua masih tentang keringnya mata air
Yang tiap pagi sepanjang perjalanan hidupnya
Digayungnya untuk memandikan anak-anakku
Agar mereka senantiasa merasakan kesegarannya
Dari ufuk pagi hingga senja menjelang dini


Siang kali ini isteriku tersayang bernyanyi lagi
Tentang angan-angan membawa buah cintaku
Menjelajahi bumi hingga bertemu batas tepi
Lalu memberinya aneka warna pada langit biru
Selama perjalanan tanpa kawan mengiring
Pada lorong remang berbatu berduri tajam
Yang sebagian basah lainnya mengeras mengering
Sedang beratnya beban empat mutiara hatiku
Terikat di pinggulmu terbawa berlari seorang diri


Tabuh sebelas lewat setengahnya sunyi sepi
Telinga jiwaku menangkap rintihan tangisanmu
Air matanya tak sempat kuyubkan luka hatimu
Deras memahat kubah hingga menembus kutub
Sedu pedihnya keindahan sisi paras kecantikanmu
Terlukis rapi pada deretan not balok keharuan
Untuk urungkan hasratku memejamkan mata
Hingga setengahnya sunyi sepi melampaui larut pagi


Dan pagi ini, lagi-lagi isteriku kekasihku
Melantunkan kekidungan penuh pujian
Pada Tuhan pembebas beban kehidupan
Yang ikut membasahi tiap bar pada titian nada
Merajut tenun melodi indahnya kehidupan
Lewat jentikan jemariku pada kapur di papan tulis
Bersama raibnya sesak masalah hilang dan berlalu


Nyanyikan saja tiap pagi lagu indahmu
Senandungkan saja setiap pagi sebelum kokok ayam berbunyi
Kidungkan segera pujianmu padaNYA meski kau sembunyi
Biarkan anak-anak kita terjaga
Lalu berlari kegirangan penuh bahagia
Mendengar nyanyianmu masih dalam setengah tidur
Meski pagi inimasih penuh kabut
Dan embun hanya sempat singgah sebentar
Pada ujung daun bambu depan rumah kita


Surabaya, 24 November 2010

Senin, 22 November 2010

AKU HANYA BISA LEWAT PUISI


DIPERMAINKAN RASA

Tepat di awal penanda mulainya pacuan ketajaman
hidup mati salah benar baik buruk mampu tak berdaya
dipertaruhkan hanya dalam hitungan menit tanpa detik
akal budi pikiran kebebalan kebodohan dan kepandaian
menyempatkan diri menggandeng kelicikan kecurangan
dan tipu muslihat agar memenangkan pertarungan

Saat dentang tiga kali aku melihat congkak dunianya
terkalahkan oleh sembilan puluh menit pertarungan
saat dua ribu sepuluh macam gaya strategi pola
dari gambar bentuk ketidakcerdasan berusaha
agar dirinya tidak terkalahkan
oleh majunya peradaban dan ilmu pengetahuan

Seharusnya mereka merasa tidak layak melakukan
karena hasil kecurangan itu tak terapresiasi jiwa
semestinya mereka tak berani maju di arena
selayaknya mereka akan gagal memperlambat waktu

Kecurangan menjadi kekuatan untuk diandalkan
pencurian waktu dibisikkan sang iblis lewat ketakutannya
permainan mata antar petarung bak lirikan penari Bali
kecepatan tangan bak pesulap menyilapkan tatapan
hingga keberanian untuk merebut bendera
dari sang penjaga garis

aku sempat tersenyum menikmati adegan ini

Ternyata kawan, mereka sedang dipermainkan
oleh persaingan nilai-nilai kehidupan dan taruhannya
juga oleh perseteruan kesucian pikiran,
keterbatasan pengetahuan
dan bujuk rayu si iblis laknat

Ternyata kawan, empat dari dua belas harapan
menggelepar terkalahkan oleh ambisi sendiri
sebelum sang pelatih melemparkan handuk
pertanda penyerahan diri atas kekalahan ini

Sembilan puluh menit pertarungan sengit
telah merobek urat-urat takut dan kengerian
dua belas kursi saling mengapit tanpa berderit
kalah..tergolek penuh sayatan pisau kebencian

setelah itu, mereka bergegas tinggalkan arena pacuan
laksana sang jagoan dipenuhi kemenangan

Tapi ketahuilah kawanku . . .
penonton telah meninggalkan panggung pertunjukanmu
sepuluh menit yang lalu sebelum layar penutup
warna-warninya aneka rupa tabiat diturunkan
karena mereka bosan akan permainanmu
dan tentunya watak yang kalian perankan

Surabaya, 22 November 2010

Kamis, 18 November 2010

TETAP LEWAT PUISI


HARI ULANG TAHUN ANAKKU

Hari ini anakku ulang tahun entah ke berapa
karena tak aku ajarkan untuk merayakannya
masih sama seperti tahun-tahun yang lalu
diulang mengulang dan terus berulang
tanpa gemerlapan cahaya lampu
tanpa lilin-lilin penunjuk umur
tanpa berhamburan rangkaian
kertas warna-warni dan balon-balon
serta tepuk riuh telapak tangan
dan tanpa nyanyian
seperti yang diharapkan

Aku sempat menitipkan cinta kasihku padanya
melalui kencangnya hembusan angin barat
bercampur serpihan debu pedihkan mata
melalui estafet kibasan umbul-umbul bendera
sepanjang jalan kota dan desa
melalui harapan tiap anak bangsa
yang mulutnya sempat berteriak “merdeka”

Aku tak akan memberinya kado ulang tahun
berisi berbagai mainan dan makanan
yang hanya akan melekat erat sesaat

aku akan membungkuskan dalam relung hatinya
mainan nilai kehidupan
memberinya satu set kuas dan cat
agar kehidupannya penuh warna
hingga tiap jiwa menikmati dan kagum padanya

Surabaya, 2010


JEJAK KECIL PADA ABU MERAPI



Kaki langit ufuk kaki gunung tak berjari
pekat merapat menutup lereng kehidupan
tercerabik ramahnya oleh gemeretak
gigi-gigi menahan kecemasan
pun bukan sekali kengerian
tak hendak lari cangkul sabit tertinggal
kegentaran hanya kawan beriring
ketika berjalan dalam kegetiran

Hijaunya  hamparan sayuran  bak titi nada
naik turun menggelantung kadang patah
tembang pengiring memantul di dinding bukit
pemadu senyuman di balik caping usang
kini sembunyi pada punggung sang gunung
tepat bersama keringnya akar yang terbakar
hingga kacang dan bebijian  menjadi belukar

Jalan setapak pematang tak lagi tampak
tak lagi melingkar apalagi berputar-putar
jejak kaki-kaki itu masih saja tak  bergerak
pijakannya dangkal  pertanda tak kekar
debu abu saling mengejar berebut haru
kian tebal  pada jejak tanpa ragu dan malu

Candanya menghilang sebelum sempat dikenang
keceriaannya  terkubur tatkala sedang makan bubur
nyanyian dan tariannya tergantikan jerit tangis
kuda kepang mainannya tak sempat ditambatkan
bisul Merapi terlanjur bernanah . . .pecah
jejak-jejak telapak mungil padang abu bertambah
memanjang menuju batas betis luka Merapi
tak ada darah bersimbah karena mereka kering
bersama tulang-tulang dan daging


Surabaya, 2010

MENURUTKU BAGAIMANA MENURUTMU

Menurutku, aku ini bapak yang gagal ikut ujian ketahahan hidup
gagal ikut ujian manajemen  kepekaan perasaan dan pola pikir
gagal merentangkan tangan anakku untuk memeluk dunia

Menurutku, aku ini ayah yang tak berhasil
melebarkan gelak senyuman anakku dan mungkin pula ibunya
untuk mengusir kekecewaan hati agar terpuaskan

Menurutku, aku ini bapak yang tuli dan tumpul pendengaran
tuli jeritan nyanyian melengking seribu harapan permintaan
hingga angan – angan anakku menggelepar
sekarat dan mati suri terpanggang dalam perjalanan waktu

Menurutku, aku ini ayah yang lemah
lemah menanggapi dan memenuhi tingginya cita-cita anakku
tak segera menghunus pedang meski anak panah terlanjur terlepas
melesat berdesakan menghimpit bertumpang tindih
siap menghujam jantung dan menembus pori keringat
lalu menghamburkan jalan pikiran di seluruh isi kepala

Menurutku, aku ini telah mengalirkan darah segar
lewat dentuman tepat pada nadi-nadi jiwa anakku
aku menyesal tidak meniupkan nilai nyawa sekalian
hingga mangkuk nampan penuang darah segarku membeku

Menurutku, aku ini bapak anak-anakku dan suami isteriku
yang telah rela menguliti diri sendiri dengan pisau tajam
untuk mengambil tulang tangan dan tulang kaki
lalu merebutnya menggenggam dan membanting sekuatnya
pada kerasnya batu karang kecongkaan dunia
yang semakin sulit dan kaku untuk bertekuk lutut

Tulang kaki kuajak berlari meski harus melalui rayuan
baluran param penghangat setiap pagi dan malam hari
tulang tangan kuhempas pada dinding sekolah lewat hati nurani
meskipun kerasnya hempasan tak memarkan wajah dunia
kepekatan otakku telah kupanaskan bahkan mendidih
layaknya mesin truk tua yang meraung-raung keberatan muatan

Menurutku, tanganku tak kalah panjang dari tangan anakku
senyumku tak kalah lebar dari anak dan isteriku
ketulian kupingku telah kuceruk dengan kuku kelingkingku
hingga desiran angin pun sempat kudengar
telah sempat kuminum air suplisi mineral penyegar ketuaanku
hingga kuat menopang keinginan dan harapan anak-anakku
telah kuhanyutkan sampah penyumbat aliran darah di kepalaku
dan tak kututup lagi dam air di otakku
agar anak-anakku berlenggang menapakinya

Mengapa ya . . . .?
Kerinduanku akan genggam erat tangan anakku
Kerinduanku akan gelak tawa buah hatiku
Kerinduanku akan nyanyian merdu permataku
Kerinduanku akan berserinya wajah pucat pasi anak dan isteriku

Berjalan lambat tak gegas sampai batas tujuan?


Surabaya, 2010

Jumat, 21 Mei 2010

KETIKA HATI BERCITA-CITA

CITA HATI


Citra dan aura Yesus menjadi denyutan nadi hidup
Injil suci pun menggelorakan tiap hela napas terhirup
Taburkan biji-biji yang tumbuh tak beronak duri
Ajarkan adab hikmat jadikan anak bijak bertari

Haleluya pujian senantiasa terucap di tiap peristiwa
Adikarya widya bagi bangsa dan negara tercinta
Tuaiannya memenuhi taman-taman persada
Imamat terpancar menjadikan terangnya dunia

Selasa, 23 Maret 2010

SEKADAR BERBAGI PENGALAMAN

PENGALAMAN MENERBITKAN MAJALAH SEKOLAH

Majalah sekolah dapat dijadikan maskot sekolah selain untuk melakukan publikasi berbagai kegiatan positif sekolah, melaporkan berbagai kendala yang dihadapi manajemen sekolah dalam usaha meningkatkan kualitas sekolah secara keseluruhan, sekaligus mempromosikan dan menyosialisasikan berbagai program sekolah. Sayangnya banyak majalah sekolah tak dikelola secara profesional. Saya telah memperhatikan beberapa majalah sekolah yang telah terbit secara teratur, dimulai dari tata letak sampai ke isi majalah.
Beberapa majalah sekolah seperti PAMABA, WIDYA, dan MATCH pernah saya tangani meskipun mungkin majalah-majalah sekolah itu saat ini tak berlanjut karena sesuatu hal. Saya sempat menangani beberapa majalah sekolah mulai dari pembentukan tim, pengumpulan naskah, pengeditan (editing), tata letak (layout) dan isi (content), kecuali masalah pencetakan. Percetakan langsung menerima dalam bentuk file yang siap turun cetak. Saya tidak mau mengatakan bahwa majalah sekolah yang diterbitkan tim yang saya pimpin seideal yang ada di kepala saya, tapi paling tidak semua anggota tim telah bekerja secara profesional dengan hasil yang tidak mengecewakan. Saya menangani majalah tersebut hanya untuk satu kali penerbitan saja.
Yang ingin saya bahas di sini adalah bagaimana sebaiknya menangani majalah sekolah sehingga benar-benar dapat menjadi corong sekolah kepada semua warga sekolah, kepada pihak-pihak yang terkait dengan warga siswa, termasuk kepada pihak-pihak luar sehingga dapat dijadikan referensi perkembangan sekolah dari tahun ke tahun.

1) Harus profesional
Meskipun namanya majalah sekolah yang berarti (wajib) dibeli warga sekolah tersebut, pengelolaannya haruslah tetap seprofesional mungkin. Setiap anggota tim harus dapat memberikan sumbangsih hingga terbitnya majalah tersebut. Jangan merekrut anggota tim yang tidak mempunyai kemampuan sehingga tidak akan berperan apa-apa dalam penerbitan majalah. Tim redaksi adalah orang-orang yang benar-benar mau dan bisa bekerja serta berkomitmen menghasilkan malajah sekolah berkualitas dan layak jual. Jangan terpaku dengan konsumen yang sudah pasti akan membeli (karena wajib) tetapi tetap berhitung sebagai penjual yang akan menawarkan barang di pasaran. Tentu sebagai penjual kita akan melakukan yang terbaik untuk menghasilkan barang bermutu yang akan laris manis di pasaran.

2) Membentuk tim sebelum bekerja
Jangan pernah bekerja sebelum anggota tim terbentuk dan mengetahui tugas (job description) masing-masing. Pembina boleh berangan-angan menerbitkan majalah tapi tentu tak mungkin bekerja sendiri untuk menghasilkan majalah sekolah berkualitas. Pemilihan anggota tim redaksi mutlak dilakukan dengan benar dan tepat. Setiap anggota tim harus dapat menunjukkan hasil karyanya, meskipun belum pernah dipublikasikan, misalnya. Jika ada unsur yang diperlukan tetapi tak ada anggota yang dapat melakukannya, anggota tim harus dibina terlebih dulu. Misalnya tidak ada siswa sebagai tim redaksi yang dapat melakukan reportase, maka pembina harus memberikan arahan terlebih dahulu. Setelah itu melakukan latihan di lapangan pada tokoh nyata tak sebenarnya sebelum terjun ke tokoh yang dikehendaki rapat redaksi. Yang dimaksud tokoh nyata tak sebenarnya adalah bukan tokoh yang diinginkan tetapi dapat diwawancarai (teman sekelas, teman sekolah, orang tua, penjual di pasar, dan seterusnya).

3) Unsur minimal yang harus ada
Harus ada orang yang bisa menulis
(menulis dalam arti menghasilkan naskah), atau suka menulis, atau pernah berkecimpung dalam dunia penulisan, atau bisa mengedit tulisan orang lain agar menjadi naskah yang layak dipublikasikan, atau paling tidak mencintai dunia penulisan. Karena sosok yang satu ini berperan besar terhadap isi sebuah majalah, kecuali majalah yang ingin diterbitkan hanya berupa kumpulan foto tanpa kata-kata. Kalau isi majalah lebih banyak tulisan (apalagi jika belum ada pemasang iklan) maka tim penulis ini haruslah paling banyak jumlahnya di antara unsur lainnya.
Harus ada orang yang bisa menghasilkan foto obyek langsung yang layak ditempatkan dalam sebuah majalah, dalam arti mengerti ’sedikit’ fotografi. Tentu anda tidak akan mau membeli sebuah majalah hiburan yang foto-foto artis di dalamnya kelihatan aneh atau lebih jelek dari aslinya yang sering mereka lihat di media lain. Atau ketika anda membuka sebuah majalah yang mengupas tentang seorang suatu jenis tanaman baru tetapi foto yang terpajang adalah foto jaman perang Vietnam. Anggota tim ini harus bisa menyediakan foto-foto yang diperlukan oleh penulis naskah, terutama jika naskah tersebut berhubungan dengan profil yang dapat ditemui secara langsung. Misalnya naskah profil seorang tokoh daerah di mana sekolah berada sebaiknya langsung diambil dari tokoh bersangkutan dan bukan merupakan duplikasi (kecuali untuk beberapa dokumen yang tak mungkin diambil langsung).
Harus ada orang yang mengerti tentang tata letak untuk mengatur penempatan isi majalah, baik naskah maupun gambar. Belajar tata letak dapat dilakukan secara otodidak melalui berbagai sumber baik langsung kepada ahlinya, maupun tak langsung, misalnya dari media cetak atau online.
Harus ada orang yang mengerti reportase. Ini terutama penting dimiliki jika majalah selalu menampilkan tokoh tertentu dalam setiap edisinya. Tidak mungkin seorang reporter bolak-balik menghubungi nara sumber karena menyadari kekurangan bahan atau data saat hasil wawancara siap dijadikan tulisan. Bagaimana kalau nara sumber adalah orang penting yang untuk menemuinya harus melalui protokoler berbelit-belit?
Harus ada anggota tim yang bisa menggambar, baik berupa gambar kartun atau vignet. Hal ini terutama akan digunakan untuk mengisi bagian-bagian kosong suatu halaman atau menunjang naskah. Misalnya cerpen tak cocok disertakan gambar nyata seorang siswa tetapi akan lebih baik jika berupa lukisan dengan pencil warna, pencil khusus atau tinta cina. Saya pribadi lebih suka menggambar dengan menggunakan tinta cina atau pencil alis. Tinta cina sangat bagus untuk vignet sedangkan pencil alis bagus untuk gambar realita (manusia, tokoh, binatang dan sejenisnya).
Harus ada orang yang mengerti dan mau terlibat dalam hal keuangan. Bagian keuangan mungkin merupakan orang yang selalu ada pekerjaan. Saat pengumpulan naskah, pencarian materi dan pengeditan, bagian ini harus bolak-balik mencatat pengeluaran anggota tim lain untuk menunjang ketepatan waktu kerja. Misalnya, untuk keperluan fotokopi, rental internet (kalau sekolah tidak memiliki fasilitas itu), membeli alat dan bahan penunjang kerja tim, dan sebagainya. Saat turun cetak, bagian ini harus berurusan dengan percetakan. Ketika distribusi, dia yang menentukan bagaimana cara pendistribusian atau pembayaran. Setelah itu harus menghubungi pihak luar tim yang akan menerima pembayaran atas pemuatan naskahnya, umpamanya. Sambil melakukan kegiatan terakhir ini, anggota tim naskah mulai sibuk menangani naskah-naskah baru dan ini artinya unsur keuangan akan mengulangi siklusnya dari awal.

4) Pembiasaan tenggat waktu
Setiap anggota tim harus membiasakan diri bekerja dengan tenggat waktu (deadline). Jika majalah akan diterbitkan sebulan sekali, sebagai contoh, maka harus terbit sekali dalam sebulan. Tidak boleh mengkambinghitamkan ulangan atau berbagai kegiatan lain sehingga tenggat waktu tidak tercapai dan penerbitan majalah tertunda.
5) Dengar pendapat
Pertemuan lengkap anggota tim redaksi minimal dilakukan dua kali, yaitu sebelum dan setelah penerbitan. Hal ini penting dilakukan terutama untuk menyamakan misi tertentu yang akan diemban dalam suatu edisi. Biarkan setiap anggota tim mengeluarkan pendapat tentang bagian yang akan dikerjakan tim lain. Biarkan imajinasi setiap anggota tim berkembang di saat pertemuan. Misalnya, jika edisi mendatang berupa edisi penyambutan siswa baru, tim fotografi bisa saja mengusulkan agar dimuat siswa-siswa berprestasi di sekolah sebelumnya. Tugas tim naskah untuk mencari data dan tugas reporter untuk melengkapinya.
6) Bebaskan siswa belajar manajemen langsung Cara paling efektif untuk mentransfer ilmu kepada siswa adalah melibatkan siswa secara langsung dalam praktik di lapangan, bukannya hanya memberikan teori hingga mulut berbusa. Pembina majalah sekolah dapat memberikan tanggung jawab dimulai dari hal-hal kecil kepada setiap anggota tim hingga akhirnya terbentuk tim yang solid yang dapat melakukan manajemen majalah dari awal hingga tuntas. Jangan pernah takut membagi ilmu kepada siapa pun karena ilmu yang sempat kita bagi tak akan mengurangi ilmu yang telah kita kuasai. Dengan memberikan kepercayaan penuh kepada tim sambil tetap memberikan masukan dan menjaga kekompakan tim, maka sebuah majalah sekolah yang layak dibaca pasti dapat diterbitkan tepat waktu.

Senin, 22 Maret 2010

MENGENANG GUS DUR LEWAT PUISI


GUS DUR SANG PAMOMONG
Timbunan bunga di atas tanah basah makammu
ada tercecer di sepanjang jalan tebu ireng
sebagian segar baru dipetik sebagian membusuk dan mengering
bahkan lusinan jumlahnya di keranjang belum sempat ditaburkan
berderet karangan bunga tanda rangkaian simpati
mengekor tak terbatas laksana barisan para santri
tak terpegang mana ujung dan pangkalnya
aromanya mengubah matahari menjadi kepiluan
aromanya menjadi kelambu wewangian bumi pertiwi
melelapkan diam, kesunyian, dan damaimu

Gus . . . .mas . . . pak Dur . . . .
Kelambu penutup tidurmu terkibas-kibas
Mendatangkan pusaran angin di seluruh penjuru negeri
Lalu melayang di sekitar pedesaan yang tetutup kabut pagi
Melayang-layang lalu menghampiri
Menghampiri lalu teryakini dan dipercaya
Pada benak anak-anak sekolah di puncak gunung
Di pondok pesantrian di pelosok desa di pingiran kota
Dan di pusat hiruk pikuknya peradaban manusia
Membius dan mengendap singgah pada dasar hati
dari orang-orang biasa hingga yang lehernya terjerat kain dasi
Aroma kibasan kelambu tidurmu menyatukan jiwa 


Pada lantai dinding hingga bedug di masjid
Pada lantai dinding hingga lonceng di gereja
Pada lantai dinding hingga stupa di kuil
Pada lantai dinding hingga arca di vihara
Pada lantai dinding hingga dupa yonsua di kelenteng
Pada lantai dinding hati orang percaya
Pada lantai dinding majemuknya rona manusia


Gus . . . mas . . . pak Dur . . . .
maaf ya Gus . . . wajahmu tak jauh beda
dengan si Semar Bodronoyo tokoh pewayangan
bangsawan tapi memilih bermahkota kesederhanaan
hatinya putih tak pernah simpan kesumat
pelindung pamomong panutan para ksatria berwatak utama
watakmu matahari, panas memancar energi angin sepoi
roh namamu penuh karsa kehendak
agar antara kami merasa tak berbeda
sederhana dalam gaya tapi penuh pesona
tak suka dipuji tetapi lebih suka menyemangati.
bersuara pelan laksana ketukan irama
tapi membakar telinga siapapun pendengarnya
sopan serta menghargai kawan maupun lawan.




Gus . . . mas . . . pak Dur . . . .
maaf ya Gus . . . wajahmu tak jauh beda
dengan Sang Mahapatih Gadjah Mada pemersatu nusantara
tak pernah ketakutan menghadapi lawan berlidah api
bicaramu pedang pemangkas ketamakan pemimpin negeri

Gus, Mas, Pak Dur,
akankah kelelapan tidurmu itu benar meninggalkan kami?


 Lelapkan saja tidurmu Gus, jangan hiraukan kami
tapi datanglah selalu pada mimpi-mimpi
para pembesar kami di negeri ini
agar mereka merasakan pula kibasan harum aroma
kembang dan bunga dari pusaramu
hingga hati mereka tak mati


Surabaya, 22 Maret 2010

Kamis, 18 Februari 2010

Sekadar Tahu Unsur Intrinsik Prosa

UNSUR-UNSUR INTRINSIK PROSA
Yang dimaksud unsur-unsur intrinsik adalah unsur-unsur pembangun karya sastra yang dapat ditemukan di dalam teks karya sastra itu sendiri. Sedangkan yang dimaksud analisis intrinsik adalah mencoba memahami suatu karya sastra berdasarkan informasi-informasi yang dapat ditemukan di dalam karya sastra aitu atau secara eksplisit terdapat dalam karya sastra. Hal ini didasarkan pada pandangan bahwa suatu karya sastra menciptakan duianya sendiri yang berberda dari dunia nyata. Segala sesuatu yang terdapat dalam dunia karya sastra merupakan fiksi yang tidak berhubungan dengan dunia nyata. Karena menciptakan dunianya sendiri, karya sastra tentu dapat dipahami berdasarkan apa yang ada atau secara eksplisit tertulis dalam teks tersebut.
Pada umumnya para ahli sepakat bahwa unsur intrinsik terdiri dari:
 

A.. Tokoh dan penokohan/perwatakan tokoh
B. Tema dan amanat
C. Latar.
D. Alur.
E. Sudut pandang/gaya penceritaaan

I.TOKOH
Yang dimaksud dengan tokoh adalah individu ciptaan/rekaan pengarang yang mengalami peristiwa-peristiwa atau lakukan dalam berbagai peristiwa cerita. Pada umumnya tokoh berwujud manusia, dapat pula berwujud binatang atau benda yang diinsankan.

Berdasarkan fungsi tokoh dalam cerita, tokoh dapat dibedakan menjadi dua yaitu tokoh sentral dan tokoh bawahan. Tokoh sentral adalah tokoh yang banyak mengalami peristiwa dalam cerita. Tokoh sentral dibedakan menjadi dua, yaitu:

a.Tokoh sentral protagonis. Tokoh sentral protagonis adalah tokoh yang membawakan perwatakan positif atau menyampaikan nilai-nilai pisitif.

b.Tokoh sentral antagonis. Tokoh sentral antagonis adalah tokoh yang membawakan perwatakan yang bertentangan dengan protagonis atau menyampaikan nilai-nilai negatif.

Tokoh bawahan adalah tokoh-tokoh yang mendukung atau membantu tokoh sentral. Tokoh bawahan dibedakan menjadi tiga, yaitu:

a.Tokoh andalan. Tokoh andalan adalah tokoh bawahan yang menjadi kepercataan tokoh sentral (protagonis atau antagonis).

b.Tokoh tambahan. Tokoh tambahan adalah tokoh yang sedikit sekali memegang peran dalam peristiwa cerita.

c.Tokoh lataran. Tokoh lataran adalah tokoh yang menjadi bagian atau berfungsi sebagai latar cerita saja.

Berdasarkan cara menampikan perwatakannya, tokoh dalam cerita dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:

a. Tokoh datar/sederhana/pipih. Yaitu tokoh yang diungkapkan atau disoroti dari satu segi watak saja. Tokoh ini bersifat statis, wataknya sedikit sekali berubah, atau bahkan tidak berubah sama sekali (misalnya tokoh kartun, kancil, film animasi).

b. Tokoh bulat/komplek/bundar. Yaitu tokoh yang seluruh segi wataknya diungkapkan. Tokoh ini sangat dinamis,banyak mengalami perubahan watak.


II.PENOKOHAN
Yang dimaksud penokohan adalah penyajian watak tokoh dan penciptaan citra tokoh. Ada beberapa metode penyajian watak tokoh, yaitu:

a.Metode analitis/langsung/diskursif. Yaitu penyajian watak tokoh dengan cara memaparkan watak tokoh secara langsung.

b.Metode dramatik/taklangsung/ragaan. Yaitu penyajian watak tokoh melalui pemikiran, percakapan, dan lakuan tokoh yang disajikan pengarang. Bahkan dapat pula dari penampilan fisiknya serta dari gambaran lingkungan atau tempat tokoh.

c.Metode kontekstual. Yaitu penyajian watak tokoh melalui gaya bahasa yang dipakai pengarang.

Ada lima cara menyajikan watak tokoh, yaitu:
a.Melalui apa yang dibuatnya, tindakan-tindakannya, terutama abagaimana ia bersikap
dalam situasi kritis.
b.Melalui ucapana-ucapannya. Dari ucapan kita dapat mengetahui apakah tokoh tersebut
orang tua, orang berpendidikan, wanita atau pria, kasar atau halus.
c.Melalui penggambaran fisik tokoh.
d.Melalui pikiran-pikirannya
e.Melalui penerangan langsung.Tokoh dan latar memang merupakan dua unsur cerita
rekaan yang erat berhubungan dan saling mendukung.

III. ALUR
Alur adalah urutaan atau rangkaian peristiwa dalam cerita rekaan. Urutan peristiwa dapat tersusun berdasarkan tiga hal, yaitu:
a.Berdasarkan urutan waktu terjadinya. Alur dengan susunan peristiwa berdasarkan
kronologis kejadian disebut alur linear
b.Berdasarkan hubungan kausalnya/sebab akibat. Alur berdasarkan hubungan sebab-
akibat disebut alur kausal.
c.Berdasarkan tema cerita. Alur berdasarkan tema cerita disebut alur tematik.

Struktur Alur
Setiap karya sastra tentu saja mempunyai kekhususan rangkaian ceritanya. Namun demikian, ada beberapa unsur yang ditemukan pada hampir semua cerita. Unsur-unsur tersebut merupakan pola umum alur cerita. Pola umum alur cerita adalah:

a. Bagian awal :
1. paparan (exposition)
2. rangsangan (inciting moment)
3. gawatan (rising action)

b. Bagian tengah :
1. tikaian (conflict)
2. rumitan (complication)
3. klimaks

c. Bagian akhir :
1. leraian (falling action)
2. selesaian (denouement)

Bagian Awal Alur
Jika cerita diawali dengan peristiwa pertama dalam urutan waktu terjadinya, dikatakan bahwa cerita itu disusun ab ovo. Sedangkan jika yang mengawali cerita bukan peristiwa pertama dalam urutan waktu kejadian dikatakan bahwa cerita itu dudun in medias res.
Penyampaian informasi pada pembaca disebut paparan atau eksposisi. Jika urutan konologis kejadian yang disajikan dalam karya sastra disela dengan peristiwa yang terjadi sebelumnya, maka dalam cerita tersebut terdapat alih balik/sorot balik/flash back. Sorot balik biasanya digunakan untuk menambah tegangan/gawatan, yaitu ketidakpastian yang berkepanjangan dan menjadi-jadi. Dalam membuat tegangan, penulis sering menciptakan regangan, yaitu proses menambah ketegangan emosional, sering pula menciptakan susutan, yaitu proses pengurangan ketegangan. Sarana lain yang dapat digunakan untuk menciptakan tegangan adalah padahan (foreshadowing), yaitu penggambaran peristiwa yang akan terjadi.

Bagian Tengah Alur
Tikaian adalah perselisihan yang timbul sebagai akibat adanya dua kekuatan yang bertentangan. Perkembangan dari gejala mula tikaian menuju ke klimaks cerita disebut rumitan. Rumitan mempersiapkan pembaca untuk menerima seluruh dampak dari klimaks. Klimaks adalah puncak konflik antartokoh cerita.

Bagian Akhir Alur
Bagian sesudah klimaks adalah leraian, yaitu peristiwa yang menunjukkan perkembangan peristiwa ke arah selesaian. Selesaian adalah bagian akhir atau penutup cerita.Dalam membangun peristiwa-peristiwa cerita, ada beberapa faktor penting yang perlu diperhatikan agar alur menjadi dinamis.

Faktor-faktor penting tersebut adalah:
a. Faktor kebolehjadian (pausibility). Yaitu peristiwa-peristiwa cerita sebaiknya
meyakinkan, tidak selalu realistik tetapi masuk akal. Penyelesaian masalah pada
akhir cerita sesungguhnya sudah terkandung atau terbayang di dalam awal cerita
dan terbayang pada saat titik klimaks
b. Faktor kejutan. Yaitu peristiwa-peristiwa sebaiknya tidak dapat secara langsung
ditebak/dikenali oleh pembaca.
c. Faktor kebetulan. Yaitu peristiwa-peristiwa tidak diduga terjadi, secara
kebetulan terjadi.

Kombinasi atau variasi ketiga faktor tersebutlah yang menyebabkan peristiwa-peristiwa cerita menjadi dinamis.Selain itu ada hal yang harus dihindari dalam alur, yaitu lanturan atau digresi. Lanturan atau digresi adalah peristiwa atau episode yang tidak berhubungan dengan inti cerita atau menyimpang dari pokok persoalan yang sedang dihadapi dalam cerita.

Macam Alur
Pada umumnya orang membedakan alur menjadi dua, yaitu alur maju dan alur mundur.
Yang dimaksud alur maju adalah rangkaian peristiwa yang urutannya sesuai dengan urutan waktu kejadian. Sedangkan yang dimaksud alur mundur adalah rangkaian peristiwa yang susunannya tidak sesuai dengan urutan waktu kejadian.
Pembagian seperti itu sebenarnya hanyalah salah satu pembagian jenis alur yaitu pembagian alur berdasarkan urutan waktu.
Secara lebih lengkap dapat dikatakan bahwa ada tiga macam alur, yaitu:
a. alur berdasarkan urutan waktu
b. alur berdasarkan urutan sebab-akibat
c. alur berdasarkan tema. Dalam cerita yang beralur tema setiap peristiwa seolah-olah berdiri sendiri. Kalau salah satu episode dihilangkan cerita tersebut masih dapat dipahami.

Dalam hubungannya dengan alur, ada beberapa istilah lain yang perlu dipahami.
Pertama, alur bawahan. Alur bawahan adalah alur cerita yang ada di samping alur cerita utama.
Kedua, alur linear. Alur linear adalah rangkaian peristiwa dalam cerita yang susul-menyusul secara temporal.
Ketiga, alur balik. Alur balik sama dengan sorot balik atau flash back.
Keempat, alur datar. Alur datar adalah alur yang tidak dapat dirasakan adanya perkembangan cerita dari gawatan, klimaks sampai selesaian.
Kelima, alur menanjak. Alur menanjak adalah alur yang jalinan peristiwanya semakin lama semakin menanjak atau rumit.

IV. LATAR
Latar adalah segala keterangan, petunjuk, pengacuan yang berkaitan dengan waktu, ruang, dan suasana terjadinya peristiwa dalam cerita. Latar meliputi penggambaran letak geografis (termasuk topografi, pemandangan, perlengkapan, ruang), pekerjaan atau kesibukan tokoh, waktu berlakunya kejadian, musim, lingkungan agama, moral, intelektual, sosial, dan emosional tokoh.

MACAM LATAR
Latar dibedakan menjadi dua, yaitu:
1. Latar fisik/material. Latar fisik adalah tempat dalam ujud fisiknya (dapat
dipahami melalui panca indra).
Latar fisik dapat dibedakan menjadi dua,
a. Latar netral, yaitu latar fisik yang tidak mementingkan kekhususan waktu dan
tempat.
b. Latar spiritual, yaitu latar fisik yang menimbulkan dugaan atau asosiasi
pemikiran tertentu.
2. Latar sosial. Latar sosial mencakup penggambaran keadaan masyarakat, kelompok
sosial dan sikap, adat kebiasaan, cara hidup, bahasa, dan lain-lain.

FUNGSI LATAR
Ada beberapa fungsi latar, antara lain
1. memberikan informasi situasi sebagaimana adanya
2. memproyeksikan keadaan batin tokoh
3. menciptakan suasana tertentu
4. menciptakan kontras

V.TEMA DAN AMANAT
Gagasan, ide, atau pikiran utama yang mendasari suatu karya sastra disebut tema.
Ada beberapa macam tema, yaitu:
a. Ada tema didaktis, yaitu tema pertentangan antara kebaikan dan kejahatan
b. Ada tema yang dinyatakan secara eksplisit
c. Ada tema yang dinyatakan secara simbolik
d. Ada tema yang dinyatakan dalam dialog tokoh utamanya

Dalam menentukan tema cerita, pengarang dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain:
a. minat pribadi
b. selera pembaca
c. keinginan penerbit atau penguasa

Kadang-kadang terjadi perbedaan antara gagasan yang dipikirkan oleh pengarang dengan gagasan yang dipahami oleh pembaca melalui karya sastra. Gagasan sentral yang terdapat atau ditemukan dalam karya sastra disebut makna muatan, sedangkan makna atau gagasan yang dimaksud oleh pengarang (pada waktu menyusun cerita tersebut) disebut makna niatan.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan makna niatan kadang-kadang tidak sama dengan makna muatan:

a. Pengarang kurang pandai menjabarkan tema yang dikehendakinya di dalam karyanya.
b. Beberapa pembaca berbeda pendapat tentang gagasan dasar suatu karta.Yang diutamakan adalah bahwa penafsiran itu dapat dipertanggungjawabkan dengan adanya unsur-unsur di dalam karya sastra yang menunjang tafsiran tersebut.

Dalam suatu karya sastra ada tema sentral dan ada pula tema sampingan.Yang dimaksud tema sentral adalah tema yang menjadi pusat seluruh rangkaian peristiwa dalam cerita. Yang dimaksud tema sampingan adalah tema-tema lain yang mengiringi tema sentral.Ada tema yang terus berulang dan dikaitkan dengan tokoh, latar, serta unsur-unsur lain dalam cerita. Tema semacam itu disebut leitmotif. Leitmotif ini mengantar pembaca pada suatu amanat.
Amanat adalah ajaran moral atau pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang melalui karyanya. Amanat dapat disampaikan secara implisit yaitu dengan cara memberikan ajaran moral atau pesan dalam tingkah laku tokoh menjelang cerita berakhir, dapat pula secara eksplisit yaitu dengan penyampaian seruan, saran, peringatan, nasehat, anjuran, larangan yang berhubungan dengan gagasan utama cerita.

VI.POINT OF VIEW
Bennison Gray membedakan pencerita menjadi pencerita orang pertama dan pencerita orang ketiga.
1.Pencerita orang pertama (akuan).Yang dimaksud sudut pandang orang pertama adalah
cara bercerita di mana tokoh pencerita terlibat langsung mengalami peristiwa-
peristiwa cerita. Ini disebut juga gaya penceritaan akuan.

Gaya penceritaan akuan dibedakan menjadi dua, yaitu
1. Pencerita akuan sertaan, yaitu pencerita akuan di mana pencnerita menjadi tokoh
sentral dalam cerita tersebut.
2. Pencerita akuan taksertaan, yaitu pencerita akuan di mana pencerita tidak
terlibat menjadi tokoh sentral dalam cerita tersebut.

2.Pencerita orang ketiga (diaan).Yang dimaksud sudut pandang orang ketiga adalah
sudut pandang bercerita di mana tokoh pencnerita tidak terlibat dalam peristiwa-
peristiwa cerita. Sudut pandang orang ketiga ini disebut juga gaya penceritaan
diaan.
Gaya pencerita diaan dibedakan menjadi dua, yaitu:
1. Pencerita diaan serba tahu, yaitu pencerita diaan yang tahu segala sesuatu
tentang semua tokoh dan peristiwa dalam cerita. Tokoh ini bebas bercerita dan
bahkan memberi komentar dan penilaian terhadap tokoh cerita.
2. Pencerita diaan terbatas, yaitu pencerita diaan yang membatasi diri dengan
memaparkan atau melukiskan lakuan dramatik yang diamatinya. Jadi seolah-olah dia
hanya melaporkan apa yang dilihatnya saja.

Kadang-kadang orang sulit membedakan antara pengarang dengan tokoh pencerita. Pada prinsipnya pengarang berbeda dengan tokoh pencerita. Tokoh pencerita merupakan individu ciptaan pengarang yang mengemban misi membawakan cerita. Ia bukanlah pengarang itu sendiri.

Point of view DIBEDAKAN menjadi empat macam, yaitu:
a. Sudut penglihatan yang berkuasa (omniscient point of view).
Pengarang bertindak sebagai pencipta segalanya. Ia tahu segalanya.
b. Sudut penglihatan obyektif (objective point of view).
Pengarang serba tahu tetapi tidak memberi komentar apapun. Pembaca hanya disuguhi pandangan mata, apa yang seolah dilihat oleh pengarang.
c. Point of view orang pertama. Pengarang sebagai pelaku cerita.
d. Point of view peninjau.
Pengarang memilih salah satu tokohnya untuk bercerita. Seluruh kejadian kita
ikuti bersama tokoh ini.

Sudut pandang dalam kesusastraan mencakup:
a. Sudut pandang fisik. Yaitu sudut pandang yang berhubungan dengan waktu dan ruang
yang digunakan pengarang dalam mendekati materi cerita.
b. Sudut pandang mental. Yaitu sudut pandang yang berhubungan dengan perasaan dan
sikap pengarang terhadap masalah atau peristiwa yang diceritakannya.
c. Sudut pandang pribadi. Adalah sudut pandang yang menyangkut hubungan atau
keterlibatan pribadi pengarang dalam pokok masalah yang diceritakan.
Sudut pandang pribadi dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu pengarang menggunakan
sudut pandang tokoh sentral, pengarang menggunakan sudut pandang tokoh bawahan,
dan pengarang menggunakan sudut pandang impersonal (di luar cerita).

Fokus pengisahan berbeda dengan sudut pandang. Fokus pengisahan merupakan istilah untuk pencerita, sedangkan sudut pandang merupakan istilah untuk pengarang.
Tokoh yang menjadi fokus pengisahan merupakan tokoh utama cerita tersebut. Fokus pengisahan ada empat, yaitu:


a.Tokoh utama menyampaikan kisah dirinya.
b.Tokoh bawahan menyampaikan kisah tokoh utama.
c. Pengarang pengamat menyampaikan kisah dengan sorotan terutama kepada tokoh utama.
d. Pengarang serba tahu.

Jumat, 12 Februari 2010

KARENA PUISI MEWAKILI HATI

ADA KEMULIAAN HATI DI JALAN NGAGEL
(Puisi untuk Pak Kus, tukang tambal ban berhati malaikat)

Kukayuh sepeda anginku mencoba mencari dimana ujung jalan ini
Agar aku dapat menceritakan cinta kasih ketulusan kepada dunia
Yang ada hanya
lapak-lapak pedagang yang barangkali tak lagi berkaki lima
Yang ada hanya
ember-ember tak bertangkai dari para tukang tambal ban
Yang ada hanya
nyanyian gemeretak mesin jahit tua beradu jok sepeda motor
Yang ada hanya
lengkingan teriakan ”terus..kiri..kanan” si tukang parkir
Yang ada hanya
rasa kantuk dari rentanya perempuan penjual bensin eceran
Yang ada hanya
kekesalan tidak puasnya hati dari orang-orang di warung kopi

Kukayuh sepeda anginku membawa kepuasan bathin
yang hanya cukup untuk hari ini
Meski hanya pengabdian, melayani kehidupan,
dan berubah tidaknya perilaku
Siulan dan senandung kecil laksana simponi orkestra
tercipta seketika tanpa sengaja
Sekalipun tak merdu dan tak jelas nada-nada
dan tak terbaca kata-kata syairnya
Tanda kepuasan selesainya pekerjaan
tepat pada hari ini bukan esok hari
yang mampu menggeser kepenatan hati
serta panasnya telapak kaki
Bahkan menyegarkan kembali
biru hitamnya urat nadi pangkal paha
Dengan harapan esok senandung itu
akan semakin berarti bagi negeri
Dalam kesetiaan di tiap berputarnya
roda-roda kehidupan
Dalam lekatnya kaitan rantai besi
pemutar roda hingga berkarat

Sayang, rongga roda tak kuat menahannya
dan angin melesat seketika
Berdesakkan berebutan
untuk segera meninggalkan tanpa jejak
Dari tiap celah rongga kulit ban karet
yang mulai tumpul giginya tanda sudah tua
Kepergiannya meninggalkan keluh kesah
tapi bukan sumpah serapah
Hilangnya lahirkan gerutu
yang tak pernah ada titik temu
Raibnya menjadikan kenangan indah
sepanjang hayat kehidupan
Dan aku coba tetap pada ketegaranku
tak mengayuhnya tapi menuntunnya
Dengan tetap berada
di dalam nyanyian parau dan panas

Kemuliaan hati itu
menegur tanpa suara di atas kekosongan jiwaku
Kemuliaan hati itu
memanggil tanpa bergeming di sisi kebimbanganku
Kemuliaan hati itu
berbisik tanpa desisan tepat di bawah sadarku
Kemuliaan hati itu
bersuara tak memekakkan telinga di ujung mataku
Kemuliaan hati itu
ada dan terbungkus di dalam dan oleh ketuarentaan raga
Kemuliaan hati itu
menyajikan menu cinta kasih yang tak teracuni kepura-puraan
Kemuliaan hati itu
merelakan ”punyaku gunakan dulu untukmu”

Menjadikan siulan senandung kecil simponi
orkestra yang tercipta tanpa sengaja
Yang terhenti sesaat tepat pada titik putusnya
nafas kehidupan bernyanyi lagi
Sekalipun tak merdu dan tak jelas nada-nada
dan tak terbaca kata-kata syairnya
Tanda kepuasan selesainya pekerjaan
tepat pada hari ini bukan esok hari

Kemuliaan hati itu bernama pak Kus....
Entah pak Kus siapa...aku tak benar peduli
karena yang kuingat kemuliaan hatinya

Surabaya, 10 Februari 2010

Selasa, 12 Januari 2010

PIAGAM


-->
PIAGAM


OLEH : Bb. SUMBOGO SISWOWIYONO
Salamun merebahkan tubuhya di kursi bambu panjang buatannya sendiri setelah menempuh perjalanan sejauh 12 km dari kota kabupaten ke rumahnya di kampung Rejowinangun. Keringat yang meleleh dari kening membasahi muka dibiarkannya tak diseka. Tangannya meraih koran terbitan dua bulan lalu yang ada di bawah meja kayu lapuk dan mengibaskannya di muka dada sekedar menghilangkan kegerahan siang hari itu. Kopi yang ditinggalkannya di meja sebelum ia berangkat ke kantor kabupaten diminumnya meskipun dingin. Asap mengepul dari mulutnya yang menghitam. Asapnya masuk rumah menyusur celah dinding kamar anyaman bambu dimana istrinya sedang mencoba menidurkan Yanti anaknya yang berusia dua tahun. Yanti terbatuk-batuk karena asap rokok bapaknya mengusik kedamaiannya begitu pula dengan Marni istrinya, perempuan yang tak pernah mengenal bersolek itu merasa asap rokok suaminya itu menjadikan pekerjaan menidurkan anaknya sia-sia. Ia bangun dengan hati-hati dan menghampiri Salamun yang tengah asyik memutar-mutar batang rokok di antara jari-jari tangan kirinya.
“Pak, pak! Berapa kali sih aku harus mengingatkanmu? Kalau merokok jangan di dekat kamar anaknya! Lihat batuk anakmu!”
Marni berlalu kembali masuk kamar anaknya, seketika karena tangisan dan rintihan Yanti memanggil. “Mak!”
“Iya,iya!”
Salamun segera saja menjentikkan rokoknya setelah isapan yang terakhir. Tak ada keinginan untuk memarahi Marni meskipun istrinya itu telah mengusik kenyamanannya. Ia sadar betul bahaya asap rokok terhadap anaknya yang masih kecil itu.
Keheningan suasana pedesaan semakin tergambarkan dengan beralihnya matahari yang semakin condong ke barat. Suara cicit kelelawar yang keluar satu per satu lewat lubang usuk batang bambu rumah Salamun. Lelaki paruh baya yang menginjak usia empat puluh tahun itu selesai mandi. Keharuman sabun batangan yang dipakainya memenuhi ruangan. Aromanya singgah di setiap lorong sudut rumah pemberian mertuanya. Kesetiaan pada kursi bambu panjang di depan rumah menjadikannya betah berlama-lama duduk di situ, kadang juga rebahan jika kantuk berat menghampiri bersama semilirnya angin yang membuainya.
“Kenapa tadi pagi kuturuti keinginanku untuk melihat pengumuman penerimaan CPNS di kabupaten? Sial, apes! Lagi-lagi namaku tak tertulis di kertas itu” gerutunya.
Salamun telah mencoba melamar menjadi PNS sebanyak 9 kali semenjak lulus S1 jurusan ilmu sejarah dari sebuah perguruan tinggi swasta di Jogja. Untuk lamaran kali ini adalah kesempatan yang terakhir baginya karena aturan batas usia, Jika lamarannya gagal hilanglah harapan untuk menjadi pegawai negeri. Harapan yang sering diperebutkan oleh berjuta-juta lulusan IKIP pencari kerja se-Indonesia.
Selama ini, Salamun menjadi guru di Sekolah Menengah Pertama swasta milik sebuah yayasan di Argosari sebuah desa terpencil yang jauh dari kota kecamatan.. Meski honornya dibilang tak mencukupi tapi pekerjaan itu telah ditekuninya selama sepuluh tahun lebih.
Sejak pertama mengajar di sekolah itu Salamun selalu datang paling pagi bahkan lebih pagi dari penjaga sekolah, terus-menerus setiap pagi. Itu dilakukannya karena Salamun melihat banyak guru yang datang seenaknya. Ada yang datang pas jam dimulainya pelajaran ada pula yang nekat melebihi jam tujuh meski semua guru tahu kapan bel tanda dimulainya pelajaran berbunyi. Salamun punya keinginan memotivasi teman-temannya dengan memberikan contoh untuk melakukan pekerjaannya dengan benar dalam semua hal terlebih kedisiplinan.
Tapi apa yang dilakukannya tidak semudah yang dibayangkan Salamun. Tantangan muncul justru dari beberapa kawan sesama guru yang merasa kenyamanannya terusik sejak kedatangannya. Beberapa kawannya itu tetap datang mengajar dengan seenaknya. Masuk kelas untuk mengajar pun tanpa membawa perangkat mengajar padahal dalam perangkat itulah tujuan dan materi yang akan disampaikan ke siswa ditulis. Salamun menyayangkan itu sebab beberapa temannya itu adalah guru pegawai negeri yang diperbantukan di sekolah swasta. Guru yang seharusnya lebih bertanggung jawab terhadap masa depan para muridnya karena ia dibayar dari uang rakyat.
Pikiran Salamun menerawang kembali ke waktu saat ia berdesak-desakan dengan beratus-ratus pelamar hanya untuk memenuhi keinginannya menjadi pegawai negeri. Dan itu dilakukannya setiap tahun selama ada pengumuman formasi kepegawaian.
”Aku harus memberi contoh dan bisa mengubah kebiasaan yang sudah ada selama ini” gumam Salamun saat hari senin pagi ia baru saja tiba di sekolah dan meletakkan tas kerja di atas meja.
“Mana mungkin Pak Mun, mereka sudah melakukan itu bertahun-tahun sebelum Bapak datang ke sini”, kata Parjo tukang kebun sekolah “Dan saya juga jadi tidak tergesa-gesa merebus air dan menyiapkan minum bagi mereka”
“Rupanya pikiranmu tercemar juga, Jo. Akankah kamu juga mengorbankan anak-anak di sini, membiarkan mereka sekolah tetapi tetap bodoh?” Kata Salamun sambil mengangkat tas kerjanya yang tergeletak di meja karena kemoceng si Parjo menyapu debu-debu yang memenuhinya.
“Bukan begitu Pak Mun. Saya sebenarnya juga tidak rela jika Siti keponakan saya itu sekolah tapi tak nampak kemajuannya karena gurunya mengajar sambil membaca koran saat siswa mengerjakan tugasnya. Eh..maaf Pak Mun, saya jadi menyinggung seseorang” Parjo nampak agak ketakutan mengatakan itu.
Ada penyesalan di wajah Parjo setelah tanpa sengaja ia membuka aib seseorang. Dan ia segera berlalu sesaat setelah Pak Sutedjo kapala sekolah memasuki ruang guru.
Sutedjo, kepala sekolah yang telah memimpin sekolah itu selama15 tahun adalah sosok manusia pendiam yang kewibawaannya makin meluntur seiring uzurnya umur.
“Selamat pagi Pak Tedjo! Bagaimana sakitnya? Sudah membaikkah?” tanya Salamun kepada pimpinannya itu.
Salamun sebenarnya tidak sampai hati melihat keadaan pak Tedjo. Akhir-akhir ini pak Tedjo sakit-sakitan. Sakit menahun asma yang dideritanya sering kambuh. Kalau sudah demikian pak Tedjo tidak masuk dan jalannya kegiatan sekolah dilimpahkan kepada bu Sulastri wakilnya.
“Selamat pagi” jawabnya dengan nada pelan menahan sakit. ”Sudah mendingan Pak Mun, meski harus tetap rutin minum obat, sampai bosan rasanya”, keluh pak Tedja “Saya dengar Pak Salamun baru kembali dari kabupaten?” tanyanya.
“Benar, Pak. Tapi hasil akhirnya saya tetap tidak lulus seleksi dan mungkin masih tetap mengajar di sekolah ini Pak Tedjo”.
Pak Tedjo terbatuk-batuk, tangan kirinya memegang dadanya sebelah kanan. Tampak mencoba menahan rasa sakit di dadanya. Ia sebelumnya adalah seorang perokok berat yang dalam satu hari bisa menghabiskan 4 bungkus rokok kretek. Dan yang ia sukai adalah rokok kretek buatan dari Kudus.
“Baguslah kalau begitu. Dan sekolah ini tidak perlu kehilangan seorang guru yang menurutku dapat menjadi contoh bagi mereka yang pekerjaannya makan gaji buta”, kata Pak Tedjo dengan agak geram.
Entah kegeraman apa yang sedang dirasakan pak Tedjo, Salamun sendiri tidak tahu, dan tak ada keinginan untuk mencoba mengetahuinya. Kecuali beberapa waktu yang lalu Salamun mendengar dengan tidak sengaja percakapan antara Pardjo dan Sarman yang juga tukang kebun. Bahwa dua hari yang lalu Pak Tedjo ditegur kepala dinas sehubungan dengan banyaknya pengaduan dari orangtua siswa yang memprotes beberapa guru karena sering meninggalkan jam pelajaran sekolah hanya untuk membeli bedak atau alasan lain yang memang kurang bisa dipertanggungjawabkan.
“Apakah yang Pak Tedjo maksud . . . .?” Salamun tak berani melanjutkan kalimatnya karena ia tidak ingin melibatkan dirinya dalam permasalahan Pak Tedjo.
“Pak Mun. Apakah Pak Mun bersedia menolong saya? Ini sangat penting demi kelangsungan sekolah kita. Agar murid-murid di sini dapat belajar yang sesungguhnya, Pak Mun”.
“Saya akan bantu selama saya mampu Pak. “
Salamun heran. Tak biasanya pimpinannya itu agak mengiba minta bantuan. Dan entah mengapa Salamun menganggukkan kepala tanda setuju, padahal Salamun belum mengerti apa yang diinginkan pak Sutedjo.
Sutedjo kemudian menjelaskan maksudnya kepada Salamun. Ia merasa sudah waktunya untuk istirahat dari segala aktifitas urusan sekolahan, guru yang korup waktu, dan tekanan dari pihak yayasan. Disamping penyakit asma yang semakin menggerogoti badan kerempengnya. Sutedjo mempercayai Salamun karena di matanya hanya dialah satu-satunya harapan agar sekolah yang telah dipimpinnya selama limabelas tahun itu dapat berlanjut mengambil peran mendidik anak bangsa.
“Tapi, tapi mengapa saya Pak? Bukankah ada Bu Lastri?”
Salamun keheranan dengan keputusan yang diambil kepala sekolahnya itu. Dan dia menjadi tidak enak hati dengan bu Lastri. Dia merasa takut dituduh merebut kesempatan temannya yang sejak semula sudah berambisi menggantikan pak Sutedjo menjadi kepala sekolah.
“Tidak Pak Mun. Tidak. Beliau ini meski perempuan juga sama saja. Anda tahu sendiri bagaimana keadaan disini. Keadaan yang semakin lama tidak menjadikan siswa merasa nyaman belajar tapi justru keadaan yang semakin bertolak belakang dengan idealisme pendirian sekolah ini sejak semula. Bahkan tempat ini hanya dipakai sebagai sarana bersembunyi para pemakan gaji buta berkedok pengabdian. Saya tidak rela Pak Mun. Karena itu saya berharap anda bersedia menggantikan saya memimpin sekolah ini.” Pinta pak Sutedjo sambil memegang erat lengan Salamun.
Bersamaan itu pula dentang lonceng besi bekas velg truk tua berbunyi menandai dimulainya pelajaran karena waktu sudah menunjukkan pukul tujuh.
Keriuhan siswa mencoba mendahului berjalannya waktu. Gegapnya memenuhi tiap sudut lorong antar kelas. Rasanya pada saat itu waktu seolah berlari dalam ketergesa-gesaan. Dan anak-anak dengan keluguannya mencoba sesegera mungkin lebih dulu berada dalam kelas sebelum gurunya. Masih ada niat baik dan rasa tanggung jawab dalam kepolosan tiap anak di tempat itu. Hati dan pikiran mereka belum ternodai oleh kesemuan hasrat dan kepalsuan keinginan.
Inilah yang membanggakan hati Salamun sekaligus pengikat hati untuk tidak meninggalkan mereka begitu saja. Hati dan perasaan Salamun tak tega untuk menodai ketulusan dan kepolosan itu.
“Maaf, Pak. Saya tinggalkan dulu. Saya mau ngajar,” kata Salamun sambil berlalu dan belum sempat menjawab permintaan pak Sutedjo.
--------------------------------------------
Salamun merebahkan badannya masih di tempat yang menurutnya paling nyaman di dunia, kursi bambu panjang di teras depan rumahnya. Kali ini tanpa kepulan asap rokok karena ia tak ingin , Marni ,istrinya marah dan menggunakan alasan penyebab batuk anaknya karena asap rokok yang dihisapnya. Tatapan matanya menelusuri langit-langit rumahnya yang sudah tampak kotor makin menebal debunya dan mulai melapuk termakan usia. Beberapa sarang laba-laba melekat erat pada dua bambu bersebelahan, semakin melengkapi tidak terawatnya rumah peninggalan sang mertua.
Kembali permintaan pak Tedjo untuk menggantikannya sebagai kepala sekolah seolah terngiang di telinganya. Diterima berarti Salamun harus berhadapan dengan guru-guru yang dedikasinya “sak karepe dhewe”, ditolak berarti Salamun harus melihat orang tua dengan penyakit dan wibawanya sedang dirongrong oleh anak buahnya sendiri.
Salamun bangun dari rebahannya dan beranjak menghampiri suara tangisan dari dalam kamar sesaat setelah tangisan anaknya itu menyadarkan dirinya dari permainan angan-angan.
Diangkatnya anak kesayangan itu dari tempat tidur dan dengan pelan berhati-hati diletakkan kepala mungil itu dipundaknya, dengan harapan ia mau tertidur lagi. Istrinya belum kembali dari belanja di warung si Jhoni. Barangkali saja istrinya saat ini sedang beradu argumentasi dengan Jhoni, agar diberi hutangan beras tiga liter dan sabun colek dua bungkus. Salamun kembali tersadar bahwa sudah dua minggu ini ia tidak memberi jatah uang kepada istrinya untuk berbelanja. “Dari mana Marni dapat uang?” gumam Salamun, “Apakah Marni ngutang lagi untuk keperluan hidup sampai datang tanggal gajian nanti?”
Diam-diam Salamun memuji kesigapan Marni. Wanita yang sudah lima tahun dinikahinya itu mampu menentukan sikap dan mengambil tindakan yang tepat demi kelangsungan hidup keluarga. Ia tak pernah menuntut berlebihan dari sang suami. Bahkan Marni lebih banyak bersikap diam tatkala suaminya mengeluh, meminta maaf, tak dapat memberikan uang belanja.
Salamun mensyukuri anugerah Tuhan yang telah memberikan wanita “nrimo ing pandum” sebagai pendamping hidupnya. Salamun mencoba membaringkan anaknya dari gendongan ke tempat tidur. Perlahan dan hati-hati sekali. Ia tak ingin anaknya terbangun lagi dan merenggek minta dibuatkan susu. Dan usahanya berhasil. Anaknya telah dengan pulasnya tidur.
Salamun kembali mencoba menelusuri kehidupannya. Kali ini tidak dari kursi bambu tapi dari kursi rotan di ruang tamu yang ditata rapi oleh Marni. Di samping kanannya bufet kaca yang di tiap raknya tersusun rapi pula berbagai pajangan mulai dari piring, gelas, boneka, dan barang lain yang mungkin saja tak ada manfaatnya. Hanya sekedar untuk memenuhi bufet kaca. Tampak pula di rak paling atas berjajar berbagai piala, tropy, dan piagam-piagam penghargaan atas namanya. Penghargaan atas berbagai prestasinya selama menjadi guru. Mulai dari penghargaan juara menulis esai pendidikan sampai penghargaaan guru teladan tingkat kabupaten berhasil ia capai.
Mata Salamun menatap tajam piala, tropi, dan kumpulan piagam penghargaan itu. Ada kebanggaan dalam dirinya dari berbagai penghargaan yang pernah ia dapatkan. Tapi kebanggan itu berlalu dari realitas kahidupannya. Salamun merasakan ketakutan yang luar biasa saat menatap piala, tropi, dan berbagai kertas penghargaannya. Benda-benda itu tak mampu menuntun kehidupannya kepada sekedar keinginan menjadi pegawai negeri sipil yang konon gajinya menjanjikan kesejahteraan. Benda-benda itu seolah telah menggorok leher Salamun dan anak isterinya hingga mati dari hakikat hidup. Benda-benda yang pernah dibanggakannya itu kini dianggapnya sampah yang tak layak lagi di simpan di bufet sebagai penghias ruang tamu. Namun, lebih cocok jika dibawa ke loak untuk dijual kiloan dan dipakai sebagai kertas pembungkus.
Salamun beranjak menghampiri bufet itu, membuka, dan meraih kertas-kertas piagamnya mengamati sejenak dan berniat meremasnya, jika saja istrinya tidak datang dan mengigatkannya.
“Pak. Bukankah kertas piagam itu bisa kita simpan sebagai kenang-kenangan? Dan barangkali pula bisa kita pakai sebagai bahan cerita pengalaman hidup kepada anak cucu kita? Sayang khan Pak kalau dibuang?” Demikian Marni mencoba menghibur suaminya yang tampak lesu tak bersemangat karena kekecewaannya dan karena hilangnya kesempatan untuk menjadi PNS, seperti yang diharapkan orang tuanya dulu sebelum meninggal.
Salamun hanya diam terpaku, ada pancaran penyesalan di wajahnya yang begitu mendalam. Kenapa ia menolak saat bapaknya dulu bermaksud menjual satu hektar sawahnya untuk memuluskannya menjadi PNS saat seseorang menawarinya melalui jalan belakang. Salamun menyumpahi dirinya sendiri, “Aku memang bodoh!”
“Sudahlah, Pak! Tidak jadi pegawai negeri pun kita bisa hidup, bisa mencukupi kebutuhan kita, bahkan kita bisa membantu orang lain”, Marni berusaha menghibur dan membesarkan hati suaminya. “Bukankah tenaga dan pikiran Bapak sangat dibutuhkan oleh Pak Tedjo? Tenaga dan pikiran untuk mengubah sikap dan perilaku para guru di sekolahan bapak saat ini? Agar anak-anak di kecamatan ini khususnya, benar-benar terbangun kepandaiannya, lebih-lebih terbentuk pribadi dan budi pekerti luhurnya…supaya kelak anak-anak itu tidak berwatak “sak geleme dhewe” seperti pendahulunya,” kata Marni, wanita yang setia mendampingi hidup Salamun itu.
Permintaan pak Tedjo terhadap dirinya kembali terngiang menghampiri pikirannya. Permintaan yang tak mudah untuk di-iyakan oleh Salamun, karena beban tanggung jawabnya begitu berat, harus mengubah banyak hal yang sudah terlanjur menancap kuat dan berakar sebagai kebiasaan.
Salamun menghampiri Marni, yang tengah duduk sambil menghitung pengeluaran belanjanya kali ini. Ia merebahkan begitu saja kelesuan tubuhnya di samping istrinya itu. “Bu, maafkan aku ya! Sampai saat ini aku belum bisa membahagiakan kamu dan Yanti anak kita,” keluh Salamun. “Aku terlalu idealis dengan angan-anganku, hingga realita kehidupan terlupakan dan berakibat pada kurang perhatianku kepada istri dan anakku.”
Tangan lembut Marni memegang pundak suami tercintanya. “Sudahlah Pak, jangan menyesali hal itu. Kamu adalah suami yang baik karena masih mempunyai angan-angan hidup dan idealisme. Setidaknya Bapak mempunyai satu hal yang sudah diperjuangkan meskipun akhirnya tidak seperti yang kita harapkan bersama.”
Kata-kata Marni yang tulus dirasakan sebagai siraman air yang sangat dingin, yang mampu meluluh-lantakkan keharuan hati seorang yang begitu tegar dan teguh selama ini. Salamun menangis meski airmatanya masih kuat ditahannya di kelopak mata. Hatinya bagai terketuk-ketuk tangan lembut penuh kasih oleh perempuan, istrinya sendiri.
“Pertimbangkan dengan baik permintaan pak Tedjo itu, Pak! Bukan masalah berapa besar gaji yang akan Bapak terima nanti, tapi masalah tanggung jawab sebagai seorang guru sekaligus pendidik di sekolah itu.”
-------------------------------------------------------------------
Pagi itu seperti biasanya, Salamun datang lebih awal dari semua orang di sekolah. Suasana masih tampak sepi. Anak-anak sekolah belum satu pun yang tampak hadir. Sesekali melintas di depan sekolah, beberapa tetangganya yang hendak berangkat ke sawah memanggil dan menyapanya. “Pagi, Mas Guru!” sapa mereka setengah berteriak dari kejauhan. “Mas Guru, jangan lupa nanti sore main catur lagi ya!”teriak Pak Cokro petani jagung, yang tiap sore menemaninya bermain catur. “Titip Udin, ya Pak!”, teriak Dayat yang baru punya anak satu, Udin namanya.
Suasana kembali senyap seiring berlalunya sapaan-sapaan para petani itu. Salamun menyandarkan bahunya pada pilar tiang penyangga teras kelas. Keluguan dan kesederhanaan kehidupan pedesaan selama kurun waktu sepuluh tahun terakhir ini, telah menempa pribadi Salamun menjadi sosok yang memahami benar makna kesederhanaan. Bukan kesederhanaan yang menyerah pasrah pada keadaan, tetapi kesederhanaan yang tetap mengedepankan keinginan untuk maju dan tidak ketinggalan oleh laju perkembangan dunia. Terbukti pada keinginan penduduk yang 90 % adalah petani tulen, untuk selalu mengikuti perkembangan teknologi pertanian meskipun hanya melalui siaran radio atau televisi tetangga. Inilah salah satu yang menyebabkan Salamun merasa berat untuk menanggalkan statusnya sebagai guru di desa Argosari kemudian meninggalkan mereka begitu saja. Keramahan,keluguan, kesederhanaan, kejujuran, kepedulian, dan rasa saling menghargai, telah membuat Salamun menjadi bagian dari kehidupan desa ini. Ia merasa punya tanggung jawab untuk memajukan desa ini, terutama pendidikan bagi anak-anak usia sekolah. Ia tak rela jika kepolosan dan antusiasme mereka teracuni oleh kebohongan dan kepalsuan gurunya, lebih-lebih guru yang telah diangkat menjadi pegawai negeri tetapi melalui jalur “titipan” dengan sejumlah uang pengganti jasa. “Mau jadi apa…anak-anak ini?” gumam Salamun.
“S-e-l-a-m-a-t p-a-g-i…Pak Sal..! sapaan hangat bersamaan dari beberapa siswa yang sudah mulai datang mengagetkannya sekaligus membuyarkan lamunannya.
“Eh…selamat pagi, Nak!”, jawabnya dengan ramah.
“Kok, kalian datang pagi sekali?”, tanya Salamun karena tak biasanya murid-muridnya datang sepagi itu.
“Khan, Bapak sendiri yang berpesan kepada kami untuk datang lebih awal, agar kami lebih siap belajar.” jawab Mardi, ketua kelas 8A.
“Bagus Nak! Dengan datang lebih awal berarti kalian bisa belajar lagi materi yang kemarin.” Puji Salamun. “Dan ini akan menjadi kebiasaan bagi kalian kelak jika sudah menjadi orang dewasa. Karena segala sesuatu itu akan lebih baik jika kita persiapkan seawal mungkin dan hasilnya pasti akan lebih memuaskan.”
Anak-anak menganggukkan kepalanya tanda memahami apa yang baru saja disampaikan gurunya itu. Mereka sangat menghormati Salamun sebagai seorang guru, karena selama ini mereka beranggapan bahwa Pak Salamun sangat mengasihi dan memperhatikan mereka.
Satu per satu mulai anak-anak mulai berdatangan, menyapa Salamun dan mengulurkan tangan-tangan mungilnya untuk menjabat tangan guru yang dicintainya itu, kemudian memasuki kelas mereka masing-masing. Tawa kelakar mereka menghangatkan suasana pagi hari itu. Keriuhannya menghidupkan kesyunyian desa Argosari.
Salamun mengamati Mamad, siswa kelas 7C, yang tergopoh-gopoh berlarian menyambut kedatangan Pak Tedjo di gerbang sekolah. Seperti sudah menjadi kebiasaan sejak dulu, guru yang datang naik sepeda pasti akan turun di gerbang sekolah, lalu menuntun sepedanya hingga bawah pohon trembesi depan kantor guru, karena sekolah itu belum mempunyai tempat untuk memarkir sepeda. Nah, pada saat itulah para siswa seolah berlomba saling berebut untuk membantu menuntun sepeda hingga tempat di mana gurunya biasa meletakkan sepeda itu. Dan kebiasaan seperti itu sudah dilakukan oleh sekolah-sekolah dasar hingga tingkat menengah pertama, yang berada di pelosok desa dan beberapa sekolah di pinggiran kota. Itulah salah satu bentuk penghargaan siswa kepada gurunya.
Salamun menyambut Pak Tedjo, mengulurkan tangannya sekedar memberi salam sebagai tanda hormat pada pimpinannya. “Selamat pagi, Pak!”sapa Salamun seperti biasanya. “Selamat pagi juga Pak Mun. Terima kasih, selama ini andalah satu dari tigapuluh guru yang selalu memberi salam dengan menjabat tangan saya. Saya rasakan itu sebagai suatu kehormatan bagi diri saya.” kata pak Tedjo dengan masih menggenggam erat tangan kekar Salamun. Memang selama ini para guru hanya sekedar basa-basi dalam menyapa teman sejawatnya. Terlebih pula kepada Pak Tedjo. Bahkan kadang mereka memilih menghindar daripada sekedar bertemu, memberi salam dan berjabat tangan. Ini terjadi karena tingginya “keakuan” mereka, hasil negatif dari proses tidak kuatnya pertahanan jati diri kebangsaan dalam konteks kontaminasi kebudayaan.
“Pagi ini Pak Mun ngajar? tanya pak Tedjo. “Kalau tidak ada jam ngajar, saya minta Pak Salamun menemui saya di kantor,” lanjut pak Tedjo. “Kita lanjutkan pembicaraan kita kemarin yang belum selesai.” sambil berlalu meninggalkan Salamun yang belum sempat menjawab permintaan pak Tedjo.
Kembali velg bekas truk dipukul si Parjo, tepat pukul tujuh pagi. Keriuhan dan gegap gempita dari anak-anak yang berebut untuk menyiapkan diri berbaris di muka pintu kelas menjadi kebiasaan yang tak lekang. Mereka masuk kelas satu per satu dengan rapi dalam barisan lurus membujur. Selurus niat dan sucinya jiwa anak-anak pedesaan untuk memperoleh pendidikan yang layak dan bermutu.
Hampir selang tiap sepuluh menit setelah teriakan velg bertalu, pak Agus guru PPKn, yang baru saja menerima SK pengangkatan PNS-nya datang dengan wajah kuyu nampak habis begadang semalam. Ia terlambat memasuki kelas sepuluh menit. Setelah itu pak Supri, guru olah raga yang postur tubuhnya kurus kering sama sekali tak mencerminkan penampilan seorang guru yang berkecimpung di bidang olah tubuh, yang juga sudah sepuluh menit lebih ditunggu murid-muridnya di lapangan belakang sekolah. Selanjutnya pak Cecep, pak Dodi, bu Eri, bu Fifi yang rata-rata juga terlambat datang hampir tiga kali dalam seminggunya.
Pak Sutedjo mengamati mereka dari dalam kantornya. “Tak banyak yang diharapkan dari mereka,” gerutunya. “Dan ini tak akan kubiarkan berlarut-larut di akhir masa jabatanku. Harus segera ada perubahan. Hasil evaluasi terhadap para abdi negara yang “sak geleme dhewe” itu akan kusampaikan kepada mereka, sebagai bahan pertimbangan untuk mengambil tindakan berikutnya demi perubahan di sekolah ini, dan satu-satunya harapanku adalah kesediaan Pak Salamun menggantikanku.” Pak Sutedjo sebagai Kepala Sekolah merasa lega setelah para guru yang mempunyai jatah jam mengajar mulai masuk kelas masing-masing melaksanakan tugasnya, meskipun sengaja tidak siap perangkat mengajar, karena mereka “merasa tahu” dengan apa yang harus dilakukannya.
Suasana sepi, hanya sesekali terdengar suara guru menyampaikan materi pelajaran dari kelas yang sedang diajarnya. Salamun masih duduk di belakang meja kerjanya. Ia ragu-ragu untuk menemui Pak Tedjo dan memenuhi permintaannya, karena menurutnya apa yang diinginkan pimpinannya itu berat untuk dijawab dan dipenuhi. Tetapi sebenarnya kedua manusia itu, baik Salamun maupun Sutedjo, mempunyai visi dan misi yang sama dalam pendidikan yaitu bertanggung jawab terhadap siswa sebagai subjek yang harus diolah dengan benar, tulus, dan berkasih sayang hingga harapan untuk mencetak generasi yang “tak sak karepe dewe” sesuai dengan keinginan Salamun dan Sutedjo terwujud.
Keberanian Salamun untuk menemui kepala sekolahnya timbul seketika, setelah rasa kesalnya terhadap keadaan yang bertolak belakang dengan nurani mulai menghantuinya lagi. Rasa kesal untuk ingin segera menyudahi. Rasa kesal adanya pembodohan yang sistematis. Rasa kesal akan suburnya “pencurian waktu”. Rasa kesal terhadap dirinya sendiri yang tak mampu berbuat apa-apa.
Salamun mengetuk pelan pintu kayu yang sudah mulai lapuk karena sebagian termakan rayap. Dari celah papan pintu Salamun melihat pimpinannya itu mengangguk tanda mempersilakannya masuk.
“Bagaimana pak Mun? Masihkah perlu waktu untuk menimbang-nimbangnya?” desak pak Tedjo. Kali ini Salamun kembali dibingungkan dengan keadaan “apa seharusnya jawabanku.”
“ Saya minta waktu lagi Pak. Karena ini menyangkut banyak hal.” Pinta Salamun.
“Jangan lama-lama. Kapan jawabannya saya terima? “
“Dua hari lagi Pak. Saya pastikan itu.”jawab Salamun.
---------------------------------------------------------------
Salamun berada di persimpangan jalan, ia harus memilih, mengambil sikap, dan menentukan. Ia memahami permasalahan ekonomi keluarga yang disampaikan istrinya. Memang, jika tetap menerima atau bertahan tinggal dan bekerja di Argosari berarti ia harus mengorbankan keluarganya untuk berada pada posisi kekurangan tiap bulan. Harus mendengar rengekan Yanti menangis minta minum susu. Harus siap di maki-maki Bu Imah karena utang istrinya di warung semakin besar dan belum terbayarkan sedikitpun. Belum lagi biaya hidup lainnya yang semakin meninggi tak tergapai. Terbayang di pikirannya tatkala ia melihat sendiri bagaimana istrinya mengeluh tentang harga minyak tanah yang sudah mencapai empat ribu lima ratus rupiah per liternya. Beras kwalitas rendah mencapai harga lima ribu rupiah per kilonya. Belum lagi gula pasir, minyak goreng, serta barang kebutuhan hidup lain yang juga semakin melonjak.
Dan jika menolak tawaran Pak Sutedjo kepala sekolahnya, berarti ia harus meninggalkan banyak jiwa yang telah terlanjur menyatu dalam kehidupannya. Jiwa-jiwa yang penuh harapan pada setiap langkah kehidupannya. Ia juga harus meninggalkan kepolosan anak-anak yang mulai bangkit dan bersemangat untuk belajar. Ia harus membiarkan mereka terimbas oleh ulah oknum “semau gue” dalam belajarnya. Ia harus memutus syaraf kepeduliannya hingga entah apa yang akan terjadi pada pak Tedjo dan sekolahnya. Ia meninggalkan pak Cokro teman bermain catur, Dayat, Mardi, dan tetangga lainnya, yang sudah dianggap sebagai saudara sendiri. Tapi yang pasti Salamun meninggalkan komitmennya untuk mengubah perilaku menyimpang teman-teman sejawatnya dalam berdedikasi, dan tentunya Salamun mempertaruhkan masa depan anak-anak desa Argosari dan sekitarnya.
“Pak! Anak kita semakin besar , semakin membutuhkan biaya. Dan kalau kita bertahan di sini, kita sendiri yang akan jadi korban…!” kata istrinya setelah Salamun mencoba mengajak berunding. “Aku sangat mendukungmu dalam pekerjaan muliamu, Pak. Tapi coba lihat kenyataan hidup kita. Utang kita semakin menumpuk dan bapak tidak dapat hanya mengandalkan honor dari tempat Bapak ngajar.” Tambahnya. Salamun diam termenung membenarkan pendapat istrinya itu. “Aku harus segera memutuskan dan memberi jawaban kepada pak Tedjo. Kasihan dia.” katanya setelah mempertimbangkan banyak hal termasuk alasan masuk akal istrinya.
----------------------------------------------------------------------------------
Seperti pagi-pagi biasanya, Salamun datang pukul 05.45. Kali ini langsung masuk kantor guru, duduk di belakang meja kerjanya lalu mencoba menyiapkan bahan ajar. Matanya merah lantaran sepanjang malam tadi tidak tidur hanya untuk mencoba mencari jalan keluar namun tak juga menemukannya. Lidahnya terasa pahit karena teh hangat yang diminumnya tanpa gula terasa menusuk tiap sisi indera rasanya, gara-gara bi Imah sudah tidak lagi memperbolehkan bon belanjaan.
Tak lama kemudian satu per satu guru-guru lain berdatangan. Dan entah mengapa hari ini mereka tidak datang terlambat seperti biasanya. Mereka saling menyapa, memberi salam dan duduk di tempatnya masing-masing. Ada sesuatu yang aneh dirasakan Salamun pagi itu. Suatu perubahan kebiasaan seperti yang diharapkan Salamun dan pak Tedjo. Mereka pun memasuki ruang kelas tepat waktu sesuai jadwal yang dibuat bu Lastri sebagai wakasek kurikulum. Salamun keheranan melihat hal itu, tetapi ia bersyukur dan mengharapkan kedisiplinan teman-temannya seperti itu bukan merupakan sekedar pemanis agar surat usulan kenaikan pangkatnya ditandatangani kepala sekolah.
Kali ini Salamun telah menyiapkan jawaban untuk pertanyaan dan permintaaan Pak Tedjo. Harapannya kepala sekolahnya itu dapat menerima dan memaklumi jawaban yang disampaikan itu, meskipun Salamun paham benar akan kekecewaan pak Tedjo.
Tapi mau apalagi, itulah pilihan hidup. Salamun tidak mau memunafikkan dirinya dengan lebih memilih “pengabdian tak kunjung akhir”. Ia lebih memilih berpikir rasional bahwa anak dan istrinya perlu biaya untuk hidup. Anak dan istrinya ingin perubahan taraf kehidupan. Bukan sekedar menikmati keramahtamahan, keluguan, dan kepolosan bernuansa kehidupan pedesaan. Salamun tak mau dianggap kepala keluarga yang idealis tapi melupakan tanggung jawab terhadap keluarganya.
Saat maksud itu disampaikannya, pak Tedjo hanya terdiam tapi memaklumi, harapannya untuk mempertahankan kelangsungan sekolah dengan mengadakan perubahan yang paling mendasar yaitu “kedisiplinan” kembali menjadi nol. Sementara dia tak mampu berpikir sendiri tanpa kawan seiring semaksud seperti Salamun.
Salamun bergegas menyalami beberapa teman guru, para murid, dan kepala sekolahnya dua hari setelah ia menyampaikan maksudnya. Beberapa siswa yang sudah merasa dekat dengan gurunya itu terisak-isak gambaran keberatan hatinya ditinggalkan guru tercinta. Lambaian tangan dan senyum kekecewaan mengiringi berputarnya roda-roda pik-up tua yang mengantar kepergian Salamun dan keluarganya.
Tak banyak yang dibawa dalam hatinya selain harapan agar keinginan anak-anak dan pak Tedjo terwujud meski dalam waktu yang sangat lama. Dan tentu dibawanya pula satu stopmap merah kusam berisi beberapa piagam penghargaannya yang tak lagi punya arti, selain hanya sebagai kenangan bahwa dia pernah menjadi yang terbaik di bidang pekerjaannya. Piagam yang tidak mungkin laku di pekerjaan barunya, sebagai kepala gudang sebuah perusahaan.
Surabaya, Desember 2009
Dipersembahkan kepada kawanku Guru