Rabu, 13 April 2011

GARAM DAN BARA API

Garam pada genggamanku senantiasa kutaburkan
di tiap benih pada luasnya hamparan petak tanah
agar biji tumbuh tersemai tiap titik jengkalnya
dan kuncup bunganya menjadi buah siap petik
tinggal menunggu sambil menyiangi waktu

Apa lacur benih tak kuncup tunas
tunas tak mekar bunga bunga tak bakal buah
garam taburanku rasanya terserak di laut lepas
asinnya tak mampu hambarkan rasa samudera
biji benih itu laksana jatuh di bebatuan
Arangku telah habis besiku telah berkarat
baraku selama ini hanya membakar asap
berharap biji yang bertebaran di laut bakal menjadi pulau
air pancuran segera terbit lalu ulam pucuk segera menjulai
celaka, berbaliklah angin berkeliling beradulah ombak bersabung


Selama ini aku menjadi bambu tertiup angin
batangku tak berderit meski puyuh menepuk air
berubah menjadi prahara di muka pantai hingga daratan
di ladang tanganku mencencang bahuku memikul
agar tebaran benih-benih mengerti
kuncup tunasnya mengarah ke matahari

Karena aku yakin. . . .
bara api yang kugenggam akan segera menjadi arang



Selasa, 12 April 2011

PUISI AKHIR TAHUN AJARAN


(untuk para muridku di SMP PMB 1 Kutoarjo, SMP dan STM Widhodho Purworejo, SMP Petra 5 Surabaya, SMP Santo Yusup Joyoboyo Surabaya, SMP dan SMA Cita Hati Surabaya)

Akhir tahun ajaran ini genap dua puluh tahun
jiwa dan hatiku menelusuri lorong-lorong sekolah
dari satu pintu kelas ke pintu kelas yang lain
dari satu gerbang sekolah ke gerbang yang lain pula
sekadar untuk membantu membukakan kunci cakrawala
memaparkan sedikit pengetahuanku pada karpet ungu
yang ujungnya tersimpul di gapura keemasan sudut dunia
agar telapak murid-muridku pula telapak kakimu
tak memar dan tak terluka saat menapakinya
lalu mereka, pula kamu segera temukan kaki langit
dan jari lentikmu menggenggam erat bintang-bintangnya

Syukurku pada Tuhan, mempunyai murid sepertimu
yang tak sedetik pun lewatkan putaran jam ajarku
yang tak sekejap pun palingkan tatapan dari papan tulisku
yang tak sekali pun abaikan PR latihan dan tugas harianku
yang tak pernah tak hiraukan lemahnya suara parauku
yang selalu menghargai lambatnya waktu berputar berulang
yang berani mencoba nyalakan lilin agar samar berganti terang
yang dengan lembut membelai angin agar perahu kelasku tenang
yang melambungkan banggaku karena kesantunanmu bukan patah arang
yang tanpa ragu berani menggunting tinta merah menjadi hitam biru

Seandainya semua kuncup puspa di taman ini
tebarkan harumnya aroma hikmat seperti yang kau miliki
pastilah terjalnya gunung dan bukit di punggung bumi ini
akan memberi kemudahan untuk kalian daki
dan karpet ungu yang kupaparkan sampai batas tepi
akan berubah menjadi hamparan sutera permadani
yang kelak menerbangkanmu dekat pada bintang
hingga mudah dipetik dan terbawa pulang
untuk kaupersembahkan pada orang tua dan dunia

APRIL TUJUH BELAS TAHUN YANG LALU



(mengenang kesediaan seorang wanita 17 tahun lalu yang kini menjadi pendampingku)

Aku memberanikan menempa besi panas dengan telapak tanganku
menjadi penyangga rangka tegakkan tiang bentangan kain layar
pada kayu yang terlanjur roboh tertebang meski belum tua benar
telapak menepuk mencoba memanggil angin yang kala itu pulas
agar desiran yang dihembuskannya menjadi awan pada bibir pantai
meniupkan halus dan dingin pada layarku hingga menjadi cembung
pertanda perahu kertasku menggeliat meningggalkan dermaga
menantang dan mengiris riak buih si ombak kecil saat air pasang

Kenekatanku bukan coba-coba nyalakan kayu menjadi bara api
pada batang dayung yang lebih besar dari lenganku sendiri
ini anugerah dan kesempatan pengujian lipatan kertas-kertas
yang lantas menjadi perahu pengarung batang sungai
penghantar ke samudera lautan lepas, ganas, tiada batas

Dengan mencari jawab dari lembar-lembar halaman kitab suciku
akankah ada seseorang yang rela menjadi juru api perahu kertasku
menemaniku meretas tali-tali dan menjaring ikan di buritannya
sementara pemberat penambat perahu mulai tergerus deras air
padahal jangkar penahan gelombang dan arus dasar batang air itu
seribu seratus sepuluh kali lebih ringan dari perahu kertasku

Lelah kaki melangkah lelah mulut bertutur merajut kata
kutemukan jawaban itu bukan oleh mantera-mantera
tapi di halaman rumahku berserak di antara batu-batu
kupungut indah cantiknya dan kupigura kilauannya
cahayanya semua warna lebih terang dari lampu pemandu
kubawa dan kuberi tempat dekat tungku api perahu kertasku
lalu kerlap-kerlipnya mulai kumpulkan pasukan angin
kini tujuh belas putaran jam dinding terlewati
dan empat pulau indah menawan cantik tersandari
meski perahu kertasku mulai basah oleh air
tetap terus…dan terus memanggil-manggil angin

                                                          12 April 2011