BEKAS SAJAKKU
Tak ada lagi
jumlah baris jadi pembanding
Baitnya pun
seperti bekas gigitan kue kering
Retak seperti
membentuk jalan air dari hilir
Bunyinya pun tak
merdu di mulut penyair
Tiap kata sudah
berlumut hijau kering tak sedap
Tatanan baitnya tak
lagi dikunjungi peziarah
Kiasannya telah
menjadi sarang serangga penghisap
Ditumbuhi rumah
semut sampai ular tanpa desah
Tiang penyangga
kalimat terlampau menjadi tua
Tempat kekesalan
laba-laba meludahkan liurnya
Lantas menjadi
tenunan halus kain kesumba
Lambangnya
terbengkelai tak nampakkan rasa
Sajakku telah
bunuh diri oleh putus asa depresi
Sejak ambigunya
membingungkan halaman majalah sastra
Meski sempat
menuliskan warisan surat wasiat
Harta
peninggalannya tersimpan dalam hati
Sajak-sajakku sempat
pernah bermakna
Singgah tak lama
semayam dalam bilik sanubari
Mengingatkan benak
yang sempat terlupa
Mengembalikan harga
yang sempat berlari diri
Meluruskan jalan
hidup yang tak lagi pada tempatnya
Menggelitik kesadaran
yang melupakan nilai dan arti
Kini sajakku keras
membatu melengkapi antologi
Sisi tepinya
termakan kutu pengerat kertasku
Menyepi sendiri
di dalam laci lemari terikat tali
Sampai tiba waktu
penyair tersesat menemukanku
Surabaya,
10 September 2015