KEMATIAN SANG TEKAD
Keranda bambu yang di buat tetua desa
Masih terbuka tampak sunyi
Tikar pandan sudah tergelar
Dan bunga tujuh rupa
Setengah layu hilang aroma
Enggan ditaburkan
Kanan dan kiri
Empat tubuh kekar siap mengangkat
Dari ke empat ujung tak berpangkal
Kematian tekad terlanjur menyebar
Tersiar meski tak terdengar
Mendengar..tapi tak ada suara
Tak ada sorak tangis
Di sudut mata kerabatnya
Tak ada rasa dihampiri haru
Dupa terlanjur menebar bau
Menyesak di tiap hirupan
Mencoba memukul ketukan
Agar dibukakan iba
Tidak satu atau dua jiwa
Berpaling serapahkan duka
Kepekaan mereka kecewa
Kematian sang tekad
Membutakan banyak jiwa
Menjadi tanpa asa
Surabaya, 7 Januari 2009
HASRAT
Keberdayaan mengangkat ketukan
Ketukannya semakin keras
Agak memaksa minta segera
Pintu terbuka tak di dalam
Pintu tertutup tak di luar
Jelaganya yang pekat mengemas hati
Semakin tak terkuasai
Menari dan menari
Melompat berjingkrak mempengaruhi
Ada harapan untuk bertahan
Meski bertahan artinya keterpurukan
Tak didukung lupa menahan
Hanya satu yang melihat
Dalam sorot tajam di ujung mata
Tatapan yang melelehkan
Meghancurkan untuk dileburkan
Setelah hasrat terjerembab
Ketajaman tatapan itu
Mengubah angan menjadi keinginan
Melakukan berarti
Memahat pada batu
Tak akan hilang jadi abadi
Tak tergerak berarti hidup
Dan akan lebih lama menikmati
Surabaya, 7 Januari 2009
TARIAN JARI USIA SENJA
Biarlah kertas berserakan
Beronggok menggunung
Asal keriput ujung pangkal jari
Jauh dari enggan
Dan dekat kepada hendak
Biarlah tarian jari menjadi
Menghidangkan imaji
Meski irama tak mengiring
Dan mata penonton tak mengerling
Tak ada pintu menganga
Sekalipun asa ada di muka
Dan tarian jemari menari
Menghentak membuka opini
Jari itu akan tetap menari
Hingga kuku yang tak pernah
Mengenal warna
Memanjang legam menghitam
Sampai harapan menyongsong senja
Surabaya, 12 Januari 2009
ADA DI UJUNG AJAL
Suara nafas tak lagi keras
Semakin terhitung luar kepala
Mata masih melihat warna
Tanpa ada yang mencoba nampak
Jantung masih meletup
Dentumannya tak lagi serempak
Rintihan hati masih merdu
Nyanyiannya tak terdengar
Wajahnya biaskan hidup
Dalam gambar pucat pasi
Derap kaki menghentak
Duta makin mendekat
Senandungnya membuai api
Siulannya menimang bara
Lebih lembut dari sutera
Lebih sayup dari hembusan angin
Saat hilang akal rasa
Kita kan terbawa selamanya
Surabaya , 12 Januari 2009
KEMENANGAN MATAHARI
(dalam selimut hujan)
Matahari segera ingin memancar
Mencoba mengurai binar dalam sinar
Rimbunnya awan gelap semakin tawar
Di tiap tetesan keringat yang terbakar
Kekuatannya mencoba mencabik
Agar ”mata”nya mampu menatap dunia
Meski gelap tak coba membaik
Merapat erat kuat di tikungan duka
Gelap telah merebut kuasa
Hingga terkapar tak berdaya
Raja siang tak lagi disebut
Kala pagi tak menghangatkan lagi
Teriknya tak pula mengelupaskan kulit
Tapi. . . “hari”mu masih punyaku
Panasnya tak coba sembunyi
Hangatnya tak hendak pergi
Titik pertemuan telah dijanjikan
Arak-arakan sekawanan awan
Berpekik sorak- sorai
Beriring tabuh genderang tanda perang
Sesekali ujung cemeti menimpali
Kaki-kaki segera berlari
Menepi
Menghindari
Awan merapatkan barisan
Tiap punggungnya menggendong cawan
Tinggal menunggu aba pimpinan
Isi cawan pun ditumpahkan
Kamipun menyingkir karena banjir.
Surabaya, 12 Januari 2009
BAWAH SADAR
Tak pernah sekalipun punya nyawa
tapi aku rasakan hidup
Tak pernah sekalipun bicara
tapi aku mendengar suara
Gegapnya retakkan rapuhnya dunia
Hembusannya buihkan samudera
Rayuannya liatkan kerasnya hasrat
Tajamnya melukai tiap jiwa
Berdarah tak warna merah
Dan luka sembuh sendiri
Biarlah tiap lidah jilati manismu
Dari pangkal rasa tak ke ulu hati
Hingga tersingkap selubung arti
Lalu cepat terungkap kelambu
Dan semua orang menjadi lebih tahu
Surabaya,12 Januari 2009
KESOMBONGAN
Mata tajamnya dibuat- buat
Tersekat gerigi berperisai besi
Sorotnya mengurai satu-satu
Coba temukan salah di azab
Menyusur tiap jejak tak dilangkah
Sudutnya memenggal tiap kepala
Hitamnya merobohkan lemahnya kaki
Kepala didongakkan tanda tak hirau
Tangan dikecakkan tanda kuasa
Lantang tapi tak kunjung menyerang
Fitnah diramu menyumbat angan
Rongga dada diangkat-angkat
dilempar tinggi lambungkan mimpi
Tatkala tiap jiwa yang ditemuinya
Membungkuk membuka topi
Semakin tinggi rongga terangkat
Nian kencang angin menerpa
Tak berimbang tangan berpegang
Tapi terlepas dan terhempas keras
Jatuh
Tak tertolong
Surabaya, 13 Januari 2009
UNTUK ANAK-ANAKKU
Peluit terlanjur kubunyikan, anakku
Tertiup dari bibirku yang mulai kering
Gemanya memantul di tiap dinding kelas
Dan pada helai tiap sampul buku
Bendera terlanjur kukibas, anakku
Terlempar dari tanganku yang melapuk
Kibarnya teduhi tiap ujung pena
Dan pada kapur tulis berdebu
Berlarilah. . .segeralah berlari
Lihat. . .banyak kaki ingin mendahului
Berlarilah mengitari bumi
Di sanalah pita akhir garis kau temui
Abaikan dulu kulit putihmu
Jangan takut luka di lutut
Simpan dulu rupawanmu
Biar tak pendar lalu berkerut
Tak usah air membasuh wajah
Saat pantang hampir menyerah
Kemudi menuju arah
Meski langit tak cerah
Dan napas mulai terengah
Setibamu di batas akhir pelarian
Bawakan saja aku kisahmu itu.
Surabaya, 13 Januari 2009
ANTARA ANAK, DAN MURIDKU
Rambut yang tegak satu-satu
tebalnya sama menutup setengah kepala
bak penutup kepala adat jawa Surakarta
menutup kening menangkal kemilau
persis seperti anak lelakiku
Mata yang enggan membuka
karya maha tinggi pemilik bumi
hampir tak menampakkan sudut
hitam putihnya tak nampak kerut
sama seperti anak lelakiku
berkulit putih warna merah menyamar
tak berpori tapi berlulur sampai ke akar
pucat mengkilat laksana mayat
tebal kuat tak mudah tersayat
mirip seperti anak lelakiku
sedikit hati rasa menghargai
jauh dari rasa peduli
tiada tertanam norma etika
saat bibir bertegur sapa
jauh seperti anak lelakiku
angkuhmu tikam nadi kesabaranku
ramahmu merobek niat suciku
tinggi hatimu makin jauhkan kaki langit
senyum manismu tawarkan rasa pahit
semakin menjauh dari rupa manis anakku
Kalian berdua tak jauh beda
punya angan rasa dan dunia
tapi belum berada di tempatnya
angan dari goresan tinta warna
indah tanpa pigura
peka rasa tak dari hulu
mulai menikmati hidup
sedikit pun tak berasa gugup
dari dunia yang tipis batasnya
Mengertilah
Akan hidup
Surabaya, 19 Januari 2009
ISTRIKU
( perempuan kiriman Tuhan)
Dari keterbatasan dan tak berdayanya diri
untuk membawa desah sengal napas
agar tetap hidup
Tak pernah kamu merasa tak cukup
Dari tidak adanya kemampuan diri
menyuapi mulut dari hari ke hari
tak kudengar isakan tangis tahir
dari mata tak mengalirkan air
Dari kurangnya kasih kuberikan
pada anak-anak buah cintaku
kulihat kau peluk mereka selalu
Kau memahat hidup mereka dengan jiwa
membuka katub jendela tak berkaca
membasuh kaki- kaki sampai ruas jari
tatkala aku tetap mencoba berdiri
Belum pernah aku mendengar
kemerduan keluh kesah kisahmu
tari-tarian rampak menyambut sesak
hingga kecantikanmu memudar
dan kerinduan menghampiri raga ini
Maafkan, jika dipundakmu
kutitipkan rentang waktu
hingga tak kuasa untuk berlalu
dan cadar penutup merampas cantikmu
Sampai aku mulai percaya
Dan bersujud syukur
Tuhan mengirimkanmu
Untukku
Surabaya, 20 Januari 2009