Kamis, 19 September 2013

PUISIKU BELANTARA


PUISIKU BELANTARA

Kelam dan angin lalu menyapa diriku
Menggigil juga ruang di mana dia yang kuingin,
Malam tambah merasuk, rimba jadi semakin hangat
Di belantara Dawe, Dawe kakinya pinggang gunung
 (tempatku sampai juga deru dingin)

Aku berbenah dalam kamar, dalam diriku jika kau datang
 dan aku bisa lagi lepaskan kisah baru padamu;
kini hanya tangan kedinginan yang bergerak lantang
Tubuhku diam dan sendiri, cerita pun berlalu beku.

Rumahku dari unggun api timbunan puisi
Kaca jernih dari luar segala nampak
Kulari dari gedung pingitan pengikat jiwaku  
Aku tersesat tak menemui jalan keluar

Puisiku kudirikan manakala tiba senja
Dan dipagi saat terbang entah ke mana
Rumahku dari unggun api timbunan puisi
di sini aku beranak pinak lewat rahim isteri

Rasanya lama lagi, datangnya segera datang
Aku tidak lagi meraih petang 
sendiri
badanku  tak berlumuran kata manis madu
Dari dalamnya ketulusan cinta pada rimbaku

Aku dan rimbaku bersama tiba di puncak
belantara tak terbayarkan nilai dan rasanya
Bersama sinar fajar membelah kebutaan pagi
Aku dan rimbaku tetap membatu bertumbuh lumut
Aku dan rimbaku menari dan tetap tak peduli
Masih dari relung pusat jantung dan paru bumi
Meski sepasang mata membentuk garis
Mengamati kami dengan iri dari sisi tebing curam
Bersama gugurnya daun-daunku dari dahan

                                   
Surabaya, 13 September 2013


KETIKA KELOPAK KUNCUP BUNGA


KETIKA KELOPAK KUNCUP BUNGA

Aku mengerti bunga yang kuraih kuncupnya merekah merah
kelopak mahkota laun menguning sebelum masanya layu kering
belalang kumbang telah mematikan senyum dan sapanya
namun keharumannya semerbakkan taman sudut pedesaan
berpagar kokoh batang-batang jati menggigil kedinginan
ditinggalkan daun-daunnya satu-satu melepaskan perekat
karena telah tiba datangnya musim menagih janji sang alam

sukmaku hanya mencoba menikmati gelap samar indah dan harum
jauhnya satu lemparan jarak dari taman serabut kaki pohon jati
kebodohan ilmuku lemah untuk mengingatkan kuatnya angin
misteri aroma merekah bunga mengikat keperkasaan budiku
kini berdiri sejengkal hitungan dari ranting kering batang bunga
tiga pergantian musim lagi pasti menjerat tangan dan kakiku

ibaku semula hanya menjadi karib tempat tumpah keluh kesah
agar siraman panas dingin air memadamkan segala serapah
lantas seribu semaian menghiraukan ketika terucapnya sumpah
biarkan penyiram taman tak bebas membanjiri jalan air desa
biarkan penyantun senda gurau menghentikan gelak tawa
biarkan pencipta lagu memberi kering bibirmu nyanyikan nada
tak inginkah kakimu menapak dan tanganmu meraih mimpi?

Terbaca dari warna dan wanginya bungamu,
kehendak untuk tak mekar di tanah yang bukan milkmu sendiri
keinginan untuk tak kuncup di dalam pagar penuh onak berduri
kemauan untuk tak bisa berdiam diri kemudian mimpi berlalu
kelopak mekar bakal tak berkembang dan segera lunglai layu
jika masih bertahan dalam kaca tembus pandang tanpa udara

gerakkanlah  daunmu meski angin tak berhembus semilir
jatuhkanlah daunmu meski kesejukan menyirami dari hari ke hari
biarkan putik-putikmu menjadi ringan melayang tanpa khawatir
terbawa terbang jauh menjadi dekat, jatuh dan tumbuh di sini
di hutan lindung yang gemericik  airnya menopangmu tumbuh bersemi
tepat di penghujung musim penghujan awal bulan Februari


                                                            10.45 nyaris tengah malam
                                                            masih 1792013