Kamis, 30 Juli 2009

MENGAPA PUISI?

Mengapa kita suka membuat puisi, bersusah payah mengartikan puisi? Yang begitu sulit diartikan. Mengeja tiap katanya dan merangkai kalimatnya untuk menjadi bisa mengerti.
Saya medifinisikan puisi sebagai sekumpulan kata pilihan yang dirangkai dengan mempertimbangkan keindahan larik (rima), majas (metafora), makna dan irama (bunyi). Titik beratnya pada kata-kata yang dipilih. Dimana kata tersebut merupakan hasil dari perenungan, kotemplasi atau mungkin ide yang muncul secara tiba-tiba karena si Pembuat puisi merasa “mendapat mod “. Kata-kata yang merangkai puisi merupakan “kemasan” yang menggambarkan keadaan kehidupan si penulis dengan berbagai macam sudut pandang dan faktor-faktor yang mendorong.

Jadi, seperti pernyataan seorang sastrawan Rusia, bahwa ia lebih memilih menulis puisi ketimbang prosa bila hendak mengungkapkan pikiran secara sangat padat dan dengan kekuatan maksimal.

“Puisi? Karena jika kalian bisa membaca puisi, kalian bisa baca apa saja,”

Barangkali benar, bahwa bila kita bisa memahami puisi, maka kita akan bisa membaca apa saja (baca: kehidupan). Sebab puisi tak saja terdiri dari sekumpulan kata yang mempertimbangkan keindahan bunyi dan kiasan, tapi juga menyimpan tanda-tanda yang tidak secara langsung bisa ditangkap dan dicerna pembacanya. Maka, apabila kita terlatih membaca tanda atau kode di dalam puisi, kita pun bisa membaca setiap tanda yang kita jumpai.

Makna sebuah puisi memang sangat tergantung kapan puisi itu ditulis. Tidak saja kondisi sang penyairnya, tapi juga zamannya. Setiap membaca puisi-puisi Chairil Anwar, saya selalu menemukan kemuraman (sekalipun di dalam puisi “Aku” yang seringkali dibacakan dengan garang) – mungkinkah karena kehidupannya yang bohemian? Atau sajak-sajak Rendra yang menyuarakan kebebasan suara hati karena pembungkaman oleh pemerintahan orde baru yang represif. Dan kita pun dapat memahami, mengapa banyak penyair tua yang lebih banyak menulis puisi-puisi “rohani” – yang itu memberikan petunjuk tentang suasana psikologis dan kesadaran diri sang penyairnya. Sebagaimana halnya anak muda yang lebih suka menulis puisi cinta – yang kadang justru karena cintalah mereka mendadak menjadi seorang penyair yang romantis sekaligus gombal.

Lalu, mengapa puisi? Dan mengapa hingga sekarang orang masih menulis dan membaca puisi?

RODA DAN KAKI PERKASA

Hentakan pangkal telapak kaki

bergantian antara kanan dan kiri

melukiskan bilur memar

pada perjalanan nadi

bekasnya membesar

laksana air yang menyusur

sepanjang bibir tepian sungai

yang menyambut keringnya sendi kaki

pada akhir musim penghujan


Tiap sisinya memecah dan tebal

tak sempat memalingkan waktu

ketika bangkit tanpa gerakan

dari tiap hentak kayuhannya

yang coba lampaui bekas jejak

ada tapi tak mengikutinya

karena tersapu kepulan asap debu

dari beribu liang besi pembuangan

yang aromanya melukai paru-paru


Beban berat itu bersandar

pada pengayuh kedua kaki

semakin bersembunyi

karena kuatnya jiwa

dan oleh wajah-wajah lugu

dalam kemasan ketulusan

dan setia menyamarkan di balik pintu


Keletihan napas tak mampu lapangkan rongganya

yang tak diundang tapi mencoba menyapa

dan mengintip di sela tiap jeruji

penopang putaran roda pembawa usia

tiap pagi menjelang senja hari

hingga meregang dan segar lagi

Kadang roda mencoba lewati kubangan

sekedar menghindar menangkis celaka

saat azab mengajak seiring berkeliling

Kadang kecepatannya melesatkan hasrat

di antara gegap gempita

dan makian beribu kendaraan

yang mengurungku di belantara kota

Aku menghindar dari cahayanya

saat matahari mengajak bersahabat

dan menawarkan hangatnya

karena saat itulah aku merasakan

nikmatnya tak menyeka keringat

Aku tak merasa kehilangan harapan

Aku tak merasa kehilangan arti

Aku tak merasa di simpang kebimbangan

ketika rantai penggulung gigi sepeda

enggan dipaksakan memutar

untuk segera mengirimkan rohku

ke penghujung keinginanku

bersama rapuhnya tulang pengayuh

dan semakin berkaratnya

besi penyangga roda.

Surabaya, 30 Juli 2009

Selasa, 28 Juli 2009

PERJALANAN PULANG

Sekali saja keinginan ini
melintas tak sampai batas
membawakan rindu pada cakrawala
tiupannya membakar jerami
hingga angan tak gemulai lagi
saat tirai penutup bingkai
berkerut dan menutup

Aku mencoba menyisihkan kecewa
agar rinduku ini keras membatu
Bayangan penjuru pada sisi jalan
penentu jarak antarwaktu
antara kota yang tak sama biru
Napasnya memanggang ingatan
mencoba merajut senyuman
pada lembar bibir mungil mengering
Barisan rimbunnya semak
belukarnya menghangatkan batang jati
yang menyusur sepanjang rel kereta api
Nyanyiannya laksana mantra
mengalun dari mulut hitam
pengasong koran kumal
yang melesatkan beribu warna tipu daya
mencoba membius hasrat agar terpikat
mencoba melelapkan agar tersesat

Tak hendak kuliarkan peduliku
karena rinduku terlampaui arti
dan tak akan kubiarkan
ujung kertas sampulnya terluka
selama suara derit kaki-kaki besi
dan siulan cerobong di penghujung
membangunkanku

Surabaya, 28 Juli 22009