Kamis, 18 November 2010

TETAP LEWAT PUISI


HARI ULANG TAHUN ANAKKU

Hari ini anakku ulang tahun entah ke berapa
karena tak aku ajarkan untuk merayakannya
masih sama seperti tahun-tahun yang lalu
diulang mengulang dan terus berulang
tanpa gemerlapan cahaya lampu
tanpa lilin-lilin penunjuk umur
tanpa berhamburan rangkaian
kertas warna-warni dan balon-balon
serta tepuk riuh telapak tangan
dan tanpa nyanyian
seperti yang diharapkan

Aku sempat menitipkan cinta kasihku padanya
melalui kencangnya hembusan angin barat
bercampur serpihan debu pedihkan mata
melalui estafet kibasan umbul-umbul bendera
sepanjang jalan kota dan desa
melalui harapan tiap anak bangsa
yang mulutnya sempat berteriak “merdeka”

Aku tak akan memberinya kado ulang tahun
berisi berbagai mainan dan makanan
yang hanya akan melekat erat sesaat

aku akan membungkuskan dalam relung hatinya
mainan nilai kehidupan
memberinya satu set kuas dan cat
agar kehidupannya penuh warna
hingga tiap jiwa menikmati dan kagum padanya

Surabaya, 2010


JEJAK KECIL PADA ABU MERAPI



Kaki langit ufuk kaki gunung tak berjari
pekat merapat menutup lereng kehidupan
tercerabik ramahnya oleh gemeretak
gigi-gigi menahan kecemasan
pun bukan sekali kengerian
tak hendak lari cangkul sabit tertinggal
kegentaran hanya kawan beriring
ketika berjalan dalam kegetiran

Hijaunya  hamparan sayuran  bak titi nada
naik turun menggelantung kadang patah
tembang pengiring memantul di dinding bukit
pemadu senyuman di balik caping usang
kini sembunyi pada punggung sang gunung
tepat bersama keringnya akar yang terbakar
hingga kacang dan bebijian  menjadi belukar

Jalan setapak pematang tak lagi tampak
tak lagi melingkar apalagi berputar-putar
jejak kaki-kaki itu masih saja tak  bergerak
pijakannya dangkal  pertanda tak kekar
debu abu saling mengejar berebut haru
kian tebal  pada jejak tanpa ragu dan malu

Candanya menghilang sebelum sempat dikenang
keceriaannya  terkubur tatkala sedang makan bubur
nyanyian dan tariannya tergantikan jerit tangis
kuda kepang mainannya tak sempat ditambatkan
bisul Merapi terlanjur bernanah . . .pecah
jejak-jejak telapak mungil padang abu bertambah
memanjang menuju batas betis luka Merapi
tak ada darah bersimbah karena mereka kering
bersama tulang-tulang dan daging


Surabaya, 2010

MENURUTKU BAGAIMANA MENURUTMU

Menurutku, aku ini bapak yang gagal ikut ujian ketahahan hidup
gagal ikut ujian manajemen  kepekaan perasaan dan pola pikir
gagal merentangkan tangan anakku untuk memeluk dunia

Menurutku, aku ini ayah yang tak berhasil
melebarkan gelak senyuman anakku dan mungkin pula ibunya
untuk mengusir kekecewaan hati agar terpuaskan

Menurutku, aku ini bapak yang tuli dan tumpul pendengaran
tuli jeritan nyanyian melengking seribu harapan permintaan
hingga angan – angan anakku menggelepar
sekarat dan mati suri terpanggang dalam perjalanan waktu

Menurutku, aku ini ayah yang lemah
lemah menanggapi dan memenuhi tingginya cita-cita anakku
tak segera menghunus pedang meski anak panah terlanjur terlepas
melesat berdesakan menghimpit bertumpang tindih
siap menghujam jantung dan menembus pori keringat
lalu menghamburkan jalan pikiran di seluruh isi kepala

Menurutku, aku ini telah mengalirkan darah segar
lewat dentuman tepat pada nadi-nadi jiwa anakku
aku menyesal tidak meniupkan nilai nyawa sekalian
hingga mangkuk nampan penuang darah segarku membeku

Menurutku, aku ini bapak anak-anakku dan suami isteriku
yang telah rela menguliti diri sendiri dengan pisau tajam
untuk mengambil tulang tangan dan tulang kaki
lalu merebutnya menggenggam dan membanting sekuatnya
pada kerasnya batu karang kecongkaan dunia
yang semakin sulit dan kaku untuk bertekuk lutut

Tulang kaki kuajak berlari meski harus melalui rayuan
baluran param penghangat setiap pagi dan malam hari
tulang tangan kuhempas pada dinding sekolah lewat hati nurani
meskipun kerasnya hempasan tak memarkan wajah dunia
kepekatan otakku telah kupanaskan bahkan mendidih
layaknya mesin truk tua yang meraung-raung keberatan muatan

Menurutku, tanganku tak kalah panjang dari tangan anakku
senyumku tak kalah lebar dari anak dan isteriku
ketulian kupingku telah kuceruk dengan kuku kelingkingku
hingga desiran angin pun sempat kudengar
telah sempat kuminum air suplisi mineral penyegar ketuaanku
hingga kuat menopang keinginan dan harapan anak-anakku
telah kuhanyutkan sampah penyumbat aliran darah di kepalaku
dan tak kututup lagi dam air di otakku
agar anak-anakku berlenggang menapakinya

Mengapa ya . . . .?
Kerinduanku akan genggam erat tangan anakku
Kerinduanku akan gelak tawa buah hatiku
Kerinduanku akan nyanyian merdu permataku
Kerinduanku akan berserinya wajah pucat pasi anak dan isteriku

Berjalan lambat tak gegas sampai batas tujuan?


Surabaya, 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar