Tak akan aku masuk pola permainanmu
Apalagi hanya sekedar untuk kau ajak bermain-main
Hanya dalam kurun dua kali empat puluh lima menit
Bola ini sekarang menempel lekat pada kuasa kakiku
Aku ini pemain sekaligus wasit bagi perlombaan hidup
Andaikan bola kutendang jauh pun
Akan masih tetap jatuh dalam lapangan permainan
Andai bola kutendang masuk gawang sendiri pun
Kartu merahku tak akan membunyikan peluit
Karena dalam sakuku semua kartu berwarna merah
Aku ini pemain sekaligus penentu kemenangan dan kekalahanmu
Kuperlakukan diriku seperti aku sendiri
Bukan menjadi duniamu yang hanya berlari
Tanpa berusaha menggiring laju bola
Apalagi menyentuh dan melesatkannya
Yang hanya melompat-lompat kegirangan
Tanpa tahu apa musabab kegirangannya
Aku ini pemain sekaligus pemandu sorak- soraimu
Pantang bagiku menawarkan lebih lagi menjual obral
Harga nurani martabat pribadi padamu
Dan hanya akan kau tawar dengan liciknya muslihatmu
Tak hendak kujual semu samarnya tanda jasaku
Yang hanya akan kau gadaikan ulang di pasar hewan
Bursa ular tak bersisik dan tak berkaki penuh kutukan
Aku ini pedagang sekaligus pembeli kadar karat nilai sikapmu
Memberimu kecurangan curi-mencuri waktu
Sama halnya mengasah belati sangkur baja
Yang tajamnya lipat tujuh pisau pencukur rambut
Lalu menyayatkan sendiri pada leher kebijakan dan kebajikanku
Lantas mencabik-cabik hingga porak poranda nilai kebenaran
Yang selama ini menjadi pegangan jalannya perahuku
Aku ini nelayan sekaligus layar penentu arah anginku
Aku masih manusia apa adanya tetapi punya jiwa
Ada keinginan sama denganmu tetapi beda nilai rasanya
Mulutku keras berkata jangan dan tidak meski sumbernya bisikan
Sebab nuraniku pun sampaikan hal yang sama seperti itu
Jalan pikirku belum pernah sekalipun terasa sakit
Apalagi sampai hilang arah
Bahkan seperti baru saja terangkai
Belum dihanguskan api dunia
belum leleh oleh panas ambisi
Aku ini pembawa berita sekaligus kamera perekamnya
Memang sajianmu sempat mendesak air liurku
Bahkan siapa pun yang melihatnya meski sepintas lalu
Muda putih tak ada noda sengatan matahari
Beraroma keharuman pada sekujur lekuk tubuh
Dan berkesempatan memangku dunia dari kutub hingga sumbunya
Namun tetap saja dari dengusan nafas mulut hidungmu
Tercium aneka rupa aroma kematian dan bangkai
Terlebih lagi manakala percakapan akal saling bertemu
Itu pertanda ada kelicikan dan tipu muslihat bersarang
Pada pangkal hingga ujung kemanusiaanmu
Beruntunglah, aku masih menyimpan jiwa yang kutitipkan pada nurani
Tak hanyut oleh derasnya alur bawah sungai kehidupan
Yang berhulu di panas laknat api neraka
Tangan kepekaanku masih berpegang menggelantung
Pada akar tunggang serabut petunjukNya
Karena tanpa kusadari ada kekuatan dari segala kekuatan
Lembut penuh belas kasih menopang dan menegakkanku
Sampai yakin dan percayaku tak lagi melanglang
Menjelajah berpetualang di padang rimba
Dan aku tinggal menunggu saat kedatangan itu.
Surabaya, 24 November 2010
PANTUN MENUNGGU UAS

Masuk kelas hati tang tenang
Duduk teratur saling menjauh
Maksud hati berbuat curang
Sibuk bertutur bukunya jatuh
Lembar jawab di atas meja
Bendel soal dibagi Satu
Sukar sangat soal agama
Ketika sekolah tidur melulu
Menengok belakang kawan mencibir
Bertanya jawab bantu –membantu
Elok dan tenang teman berpikir
Mengharap benar malah tertipu
Berkaca pada cermin melengkung
Tampak jerawat gosong wajahnya
Membaca soal pikiran bingung
Tidak menjawab kosong nilainya
MERDUNYA NYANYIAN ISTERIKU
Pagi ini isteriku tercinta senandungkan nyanyian
Syairnya memilukan di dasar relung hati
Pilihan katanya sarat keluhan kiasan kepedihan
Kemasan nadanya penuh isak ratapan nurani
Keharuannya terdengar halus dan merdu ditelingaku
Tangga nadanya teriakkan beratnya beban hidup
Dan semua masih tentang keringnya mata air
Yang tiap pagi sepanjang perjalanan hidupnya
Digayungnya untuk memandikan anak-anakku
Agar mereka senantiasa merasakan kesegarannya
Dari ufuk pagi hingga senja menjelang dini
Siang kali ini isteriku tersayang bernyanyi lagi
Tentang angan-angan membawa buah cintaku
Menjelajahi bumi hingga bertemu batas tepi
Lalu memberinya aneka warna pada langit biru
Selama perjalanan tanpa kawan mengiring
Pada lorong remang berbatu berduri tajam
Yang sebagian basah lainnya mengeras mengering
Sedang beratnya beban empat mutiara hatiku
Terikat di pinggulmu terbawa berlari seorang diri
Tabuh sebelas lewat setengahnya sunyi sepi
Telinga jiwaku menangkap rintihan tangisanmu
Air matanya tak sempat kuyubkan luka hatimu
Deras memahat kubah hingga menembus kutub
Sedu pedihnya keindahan sisi paras kecantikanmu
Terlukis rapi pada deretan not balok keharuan
Untuk urungkan hasratku memejamkan mata
Hingga setengahnya sunyi sepi melampaui larut pagi
Dan pagi ini, lagi-lagi isteriku kekasihku
Melantunkan kekidungan penuh pujian
Pada Tuhan pembebas beban kehidupan
Yang ikut membasahi tiap bar pada titian nada
Merajut tenun melodi indahnya kehidupan
Lewat jentikan jemariku pada kapur di papan tulis
Bersama raibnya sesak masalah hilang dan berlalu
Nyanyikan saja tiap pagi lagu indahmu
Senandungkan saja setiap pagi sebelum kokok ayam berbunyi
Kidungkan segera pujianmu padaNYA meski kau sembunyi
Biarkan anak-anak kita terjaga
Lalu berlari kegirangan penuh bahagia
Mendengar nyanyianmu masih dalam setengah tidur
Meski pagi inimasih penuh kabut
Dan embun hanya sempat singgah sebentar
Pada ujung daun bambu depan rumah kita
Surabaya, 24 November 2010