Kamis, 15 Oktober 2009

PUISI UNGUKU

UNGU PADA WARNA SENJA HARI

Ada aroma keharuman pada senja kehidupan
Aku membaui bunga ungu pada taman gersang
meski tak menusuk tak menyengat

Wanita baya paruh usia tak menjelang senja
Sinar ungunya terang silaukan tiap mata
Lebih setengah usiamu untuk mereka
Anak-anakmu yang bukan buah cintamu
Cucu-cucumu yang tak mengalir dari darahmu

Harum itu membau lagi,
Menyesak pada titik lubang pori
Tatkala kutahu Tuhan melengkapi hidup
Pada wanita paruh senja berdiri di cakrawala
Satu sisi tak kurang sisi lain kau tak punya
Tetap pada mereka cucu dan anakmu’
Yang bukan buah cintamu

Harum bunga ungu menelusur lagi
Pada celah tiap bilik rongga hati
pada setiap tarikan nafas yang kulakukan
tepat saat kumengerti redupnya mata
tak kuasa pudarkan percikan cahaya

Ungumu mampu meraih terang
Dan menyimpannya dalam hati
Hingga sinar putih ungu
Menerangi dan menyilaukan tiap mata
Panas kilaunya tapi tak mematikan harapan
Dingin redupnya tapi tak menggigilkan angan

Tapi bukan warna kuning
Yang hanya seperti kunang-kunang
Sekedar terang kecil awal musim hujan

Ungu pada warna senja hari
Tak coba hiraukan diri
Ungu pada warna senja hari
Tak hasrat bahagiakan dunia sendiri
Ungu pada warna senja hari
Tak coba terbangkan diri pada nirwana
Meski tahu ambang malam segera menghampiri

Biarlah kutiupkan seruling pada senja itu juga
Agar senandungku mampu membawanya
Terbang tanpa mengepak’kan sayap
Untuk membawanya mengelilingi langit
Hingga nampak dari atas sana
Betapa indahnya dunia
Meski aku tahu gelap segera menyudahi

Surabaya, 12 Oktober 2009


SANG PENDAKI




Sama sekali tak serupa gambar manusia
Mencoba menjadi ksatria di antara yang mengenalnya
Ini lebih liar dan ganas dari sosok manusia
Bahkan lebih congkak dari sang raja
Sayangnya tak lebih pintar dari si awan
Terlalu banyak melompat menggantung
Untuk menutup dan menyamarkan akal
Terlalu banyak berteriak-teriak
“suaranya mematahkan beton baja”
Peri budi bahasanya tak lahirkan makna
Keberaniannya asal tapi tak masuk akal
Bara semangatnya tak percikkan api
Memanjat tapi tak segera menggapai ranting
Kepekaan lidahnya menjulur menjilat-jilat
Laksana kemarahan lidah api pada sekam kering
Lumatkan buah manis harum berkulit duri
Baranya hanguskan sisi relung hati
Tak tersisa tanpa bekas
Akhirnya layu dan mati

Tepat saat tiap kepala berjalan pada sunyi
Kau coba goyangkan pinggul dan mulai menari
Agar stiap mata terbelalak terpesona
Kau gemulaikan gerak tanganmu
Biar sunyi menjadi hangar- bingar
Bak putri Zion yang memamerkan jenjang lehernya
Dengan gemerincing giring-giring pada mata kaki
Dan berharap pengakuan diri

Tapi sayang wahai kawanku
Sengatan panasmu tak melebihi kehangatan mereka
Karena muslihat kesombongan singgah di hatimu

Berhati-hatilah pada tanah yang kau pijak
Berhati-hatilah pada ranting pohon yang kau raih
Dan dengarlah nyanyian Daud
Tak mengejar hal-hal yang besar
Tak mernggapai hal-hal ajaib

Surabaya, 13 Oktober 2009


KETIKA KITA MEMBAGI CINTA




Sayangku, keberanianmu mengendap-endap malam ini
Untuk sekedar membagikan cinta pada anganku
Sempat membawaku dekat pada bara api
Kehangatannya menebal dari ujung ibu jari
Aku menggelepar sengaja tak sadarkan diri
Ini bukan salahmu

Sayangku, kelembutan desah nafasmu malam ini
Membangunkan kesenyapan alam mimpiku
Sempat membawaku pada tingkab langit biru
Keharumannya menghidupkan syaraf kematianku
Kita berdua menggetarkan sisi dinding surga

Sayangku, mendidihnya darahmu malam ini
Mampu meluluh-lantakkan ketegaranku
Menjadi keping-keping putih berserakan
Mengusutkan tirai penutup bilik asmaraku
Kita tak menghendaki tapi tak coba menghindari

Sayangku, keharuman aroma bibirmu malam ini
Menebarkan wewangian merasuk dalam jiwaku
Sempat mematikan rasa dan menghapus akalku
tapi aku menuliskannya pada buku kehidupanku
kita berdua menikmati dan tak menghindari

Sayangku, ada bau kelelahan dalam hidupmu
Untuk berdiri sendiri pada lorong sunyi
Sayangku, ada aroma hasrat dalam hidupmu
Untuk pedulikan dan hargai dirimu
Yang selama ini kau biarlan berjalan sendiri

Dan masih adakah malam-malam kita
Penuh bintang berkeliling pada rembulan
Sinar terangnya tak mampu menembus
Keinginan untuk tidak terpisahkan
Hingga kita tak mengingat lagi
Malam demi malam itu…

Surabaya, 16 Oktober 2009














Tidak ada komentar:

Posting Komentar