Rabu, 28 Mei 2008

Sebuah Tantangan Bagi Semua Guru Bahasa Indonesia

Seperti kita ketahui (tentunya bagi anda yang berprofesi guru Bahasa Indonesia di sekolah, bukan pengajar bahasa Indonesia bagi orang asing), salah satu standar kompetensi Bahasa Indonesia bertujuan agar siswa memahami Bahasa Indonesia dari segi bentuk, makna, dan fungsi, serta menggunakannya dengan tepat dan kreatif untuk bermacam-macam tujuan, keperluan, dan keadaan. Namun, sadar atau tidak sadar, ada guru Bahasa Indonesia yang justru tidak menggunakannya dengan benar dan baik. Mereka berkomunikasi di lingkungan kerja (sekolah) dengan bahasa kacau, baik dari segi pilihan kata, tata bahasa, maupun kacau dalam situasi penggunaannya. Hal ini tentunya sangat berpengaruh pada anak didik dalam pemahaman konsep berbahasa Indonesia yang ditanamkan guru di kelas.
Hal di atas menyebabkan kegagalan pengajaran bahasa Indonesia, sehingga muncul opini bahwa "bahasa Indonesia hanya penting pada saat diperlukan saja" misalnya saat membuat karya tulis (karena harus benar pungtuasinya), membuat surat dinas, menulis lamaran pekerjaan, dan hal lain di mana bahasa Indonesia yang benar dirasa perlu digunakan.
Berbahasa Indonesia yang bertanggung jawab, selama ini hanya dilakukan oleh orang-orang yang memahami dan menghargai "bahasa sebagai budaya dan jatidiri bangsa"
Dalam diri pengguna bahasa Indonesia belum tertanamkan rasa "menjunjung tinggi bahasa persatuan dan bahasa negara" karena krisis nasionalisme.
Kalau tidak dimulai dari diri kita sendiri sebagai guru bahasa Indonesia, lalu bagaimanakah dengan anak didik kita? Mari kita memberi contoh pada orang-orang di sekitar kita, berkominukasi yang benar dalam bahasa Indonesia.

4 komentar:

  1. Pak Komandan, saya diberkati dengan tulisan bpk. Seperti yang telah saya ceritakan, bahwa anak-anak muda Indonesia harus bangga kalau kita sekarang punya bahasa pemersatu yaitu Bahasa Indonesia. Jika tidak, dapat dibayangkan kesulitan yang terjadi ketika seorang bersuku Jawa harus ke Aceh. Dia tidak dapat berkomunikasi dengan bahasa setempat dan akan mengalami kesulitan dalam berkomunikasi.

    Saya bangga, pendiri bangsa ini tahu betul mengapa kita perlu memiliki bahasa persatuan karena bahasa adalah budaya dan ketika kita berbicara dengan bahasa yang sama, itu berarti kita sedang bersepakat dengan satu budaya tertentu.

    Pak, terima kasih atas inspirasinya dan selamat berjuang untuk mendidik generasi muda untuk berbahasa Indonesia.

    Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa, Bahasa INDONESIA. Merdeka Pak Komandan! :)

    BalasHapus
  2. Good job pak!!!
    Saya tunggu artikel yang lain ya...

    BalasHapus
  3. Pak Mbogo...seperti kata peribahasa "dimana bumi dipijak di situ langit dijunjung". Peribahasa itu sebenarnya harus dijunjung tinggi, khususnya kita yang notabene adalah warga negara Indonesia. Tapi, banyak hal yang tidak bisa kita pungkiri bahwa dalam kenyataannya, peribahasa itu sudah menjadi langka seiring dengan umurnya yang sudah tua.

    Banyak generasi muda atau yang tua malah melupakan "nasionalisme" yang dengan mudah mereka dapatkan. Bayangkan saja dengan lingkungan kita sendiri. Kita selaku guru bahasa Indonesia berupaya untuk menajamkan visi dan misi kita dalam pembelajaran. Tapi fakta di lapangan justru berbuah hasil yang tidak sinkron dengan yang kita inginkan.

    Saya bukannya pesimis dengan visi Pak Mbogo, tapi...ada banyak faktor yang perlu kita perhitungkan untuk memantapkan tujuan ini. Menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar bukan perkara gampang.
    Alasannya:
    1. Kita sendiri sudah dikondisikan dengan budaya barat yang notebene "diagungkan" dengan sejuta pernak-pernik budayanya yang telah meracuni pikiran. Kita justru memandang budaya (baca: bahasa) menjadi budaya nomor dua atau yang kesekian.
    2. Tuntutan zaman yang mengarogansikan kemampuan menguasai berbagai bahasa menjadi tantangan buat kita.
    3. Iklim di lingkungan kita yang memadukan beberapa bahasa (Indonesia, Jawa, Inggris, atau Jepang). Interferensi bahasa ini malah membuat kita tidak konsisten untuk menggunakan (baca: membudayakan/membiasakan) bahasa Indonesia sebagai bahasa utama. Jangankan memakai bahasa Indonesia, kita saja diminta untuk menggunakan bahasa Inggris. Apalagi siswa kita yang berkali-kali dikondisikan untuk memakai bahasa Inggris. Untung saja, IB mengharuskan bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama (Language A1) yang justru wajib dipelajari. kalau tidak, wah...bisa semakin bahaya.
    4. Pemerintah saja masih belum konsisten dalam membudayakan bahasa Indonesia. Dulu, dalam sistem pemerintahan termasuk dalam dunia sekolah, saya masih ingat tulisan-tulisan dan poster yang menghimbau agar kita menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Namun, seiring perkembangan zaman, tulisan-tulisan dan poster itu malah menjadi artefak yang hingga kini "mungkin" sudah dimuseumkan. Barangkali, pemerintah justru "malu" dengan bahasa kita. Buktinya, dalam setiap seminar maupun pertemuan dengan guru-guru yang ada di Surabaya, bahasa Jawa malah sering dipakai daripada bahasa Indonesia. Alasannya sepele, supaya lebih hangat dan cepat. Bukannya membuat hangat dan cepat, orang-orang yang bukan dari Jawa malah banyak bertanya dan bingung. Hal-hal seperti ini adalah bukti ketidakkonsistenan kita dalam menjaga aset bahasa kita. Belum lagi, sosialisasi menggunakan bahawa Jawa yang dilakukan setiap hari Jumat. Apakah itu solusi atau masalah?
    5. Yang terakhir adalah...kurikulum kita yang menekankan aplikasi sementara topik yang diajarkan malah menghilangkan tata bahasa. Bagaimana kita bisa mengaplikasikan sesuatu bila kemampuan dasar tentang tata bahasa saja tidak lagi kita pelajari?

    Setali tiga uang...mungkin itulah yang sedang terjadi. Saya menguraikan pendapat ini bukan karena saya pesimis dengan visi ini. Akan tetapi, visi ini bisa tercapai bila semua pihak sepakat untuk menerapkan visi ini. Bukan hanya guru bahasa Indonesia, justru semua yang menjadi warga negara Indonesia. Bahkan, kalau bisa, bule-bule juga diwajibkan untuk belajar bahasa Indonesia sebelum kerja di Indonesia. Bukankah hal seperti juga terjadi sebelum kita ke luar negeri?

    Saya mengutarakan ini karena saya pernah melakukan hal yang sama di sekolah saya yang dulu. Pada awalnya banyak sambutan, tapi...seiring waktu berlalu, semuanya hambar dan hilang ditelan bumi.

    Mudah-mudahan, visi ini bisa kita lakukan di sekolah ini, terutama untuk anak-anak. Nilai-nilai filosofisnya harus diajarkan dulu.
    Sukses Komandan Mbogo.

    BalasHapus
  4. Shalom Mas Mbogo!
    Makasih udah mampir di blog saya.
    Mas saya stujuu bahwa Bahasa Indonesia, bukan hanya harus di lestarikan tapi juga merupakan bahasa "moral" yang harus kita pergunakan dalam berbagai Acara bangsa Indonesia, bahkan kalau bisa jadi bahasa Internasional.
    Saya masih ingat, pada jaman almarhum Pak Harto, ada ide menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa Komunikasi di Asia Tenggara. Bukan saja karena bahasa Indonesia, amat sederhana dalam arti penggunaan huruf-guruf(latin) tapi karena memang mudah untuk di pelajari.
    Sayang bahwa di masa sekarang bahasa Indonesia, seolah-seolah bukan di negeri sendiri (mudahan saya salah dalam hal ini).
    begitu banyak karya-karya para Pujangga kita yang sunnguh merupakan Harta terpendam yang tidak lagi menjadi bagian dalam Pelajaran-pelajaran bahasa Indonesia bukan saja pada pendidikan Dasar tapi pada Fakultas-fakultas Sastra di perguruan tinggi, bahasa/sastra Indonesia mulai di kesampingkan.
    Coba mas Mbogo teliti berapa persen Mahasiswa di Perguruan Tinggi yang mau mendalami Sastra Indonesia????
    Apakah itu bukan menjadi suatu indikasih bahwa bahasa/sastra Indonesia mulai di tinggalkan???

    Makasih Mas.
    Another Human Being Like You.

    GBU.

    BalasHapus