Senin, 22 Maret 2010

MENGENANG GUS DUR LEWAT PUISI


GUS DUR SANG PAMOMONG
Timbunan bunga di atas tanah basah makammu
ada tercecer di sepanjang jalan tebu ireng
sebagian segar baru dipetik sebagian membusuk dan mengering
bahkan lusinan jumlahnya di keranjang belum sempat ditaburkan
berderet karangan bunga tanda rangkaian simpati
mengekor tak terbatas laksana barisan para santri
tak terpegang mana ujung dan pangkalnya
aromanya mengubah matahari menjadi kepiluan
aromanya menjadi kelambu wewangian bumi pertiwi
melelapkan diam, kesunyian, dan damaimu

Gus . . . .mas . . . pak Dur . . . .
Kelambu penutup tidurmu terkibas-kibas
Mendatangkan pusaran angin di seluruh penjuru negeri
Lalu melayang di sekitar pedesaan yang tetutup kabut pagi
Melayang-layang lalu menghampiri
Menghampiri lalu teryakini dan dipercaya
Pada benak anak-anak sekolah di puncak gunung
Di pondok pesantrian di pelosok desa di pingiran kota
Dan di pusat hiruk pikuknya peradaban manusia
Membius dan mengendap singgah pada dasar hati
dari orang-orang biasa hingga yang lehernya terjerat kain dasi
Aroma kibasan kelambu tidurmu menyatukan jiwa 


Pada lantai dinding hingga bedug di masjid
Pada lantai dinding hingga lonceng di gereja
Pada lantai dinding hingga stupa di kuil
Pada lantai dinding hingga arca di vihara
Pada lantai dinding hingga dupa yonsua di kelenteng
Pada lantai dinding hati orang percaya
Pada lantai dinding majemuknya rona manusia


Gus . . . mas . . . pak Dur . . . .
maaf ya Gus . . . wajahmu tak jauh beda
dengan si Semar Bodronoyo tokoh pewayangan
bangsawan tapi memilih bermahkota kesederhanaan
hatinya putih tak pernah simpan kesumat
pelindung pamomong panutan para ksatria berwatak utama
watakmu matahari, panas memancar energi angin sepoi
roh namamu penuh karsa kehendak
agar antara kami merasa tak berbeda
sederhana dalam gaya tapi penuh pesona
tak suka dipuji tetapi lebih suka menyemangati.
bersuara pelan laksana ketukan irama
tapi membakar telinga siapapun pendengarnya
sopan serta menghargai kawan maupun lawan.




Gus . . . mas . . . pak Dur . . . .
maaf ya Gus . . . wajahmu tak jauh beda
dengan Sang Mahapatih Gadjah Mada pemersatu nusantara
tak pernah ketakutan menghadapi lawan berlidah api
bicaramu pedang pemangkas ketamakan pemimpin negeri

Gus, Mas, Pak Dur,
akankah kelelapan tidurmu itu benar meninggalkan kami?


 Lelapkan saja tidurmu Gus, jangan hiraukan kami
tapi datanglah selalu pada mimpi-mimpi
para pembesar kami di negeri ini
agar mereka merasakan pula kibasan harum aroma
kembang dan bunga dari pusaramu
hingga hati mereka tak mati


Surabaya, 22 Maret 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar