Rabu, 02 Juli 2014

THUKUL ING WIJI


(mengenang sosok Wiji Thukul tanpa keberadaan pasti yang selama ini tidak akan pernah kukenal tapi menginspirasiku)

jantung sorogenen solo lima puluh satu tahun lalu
suara tangisan kelahiranmu telah memekakkan
telinga dan kebebalan hati manusia
yang akal budinya tertutup kebusukan

bau menyengat dari pup kecilmu tidak dalam pembalut
telah membuat blingsatan orang-orang yang merasa besar
padahal sebenarnya kecil kerdil dan dangkal perjuangannya
karena niat, pikiran, dan tindakannya bersekongkol
melakukan kejahatan demi tercapainya ambisi kekuasaan

air seni yang kau tumpahkan pada tikar pandan kasur kumal
menyengat hidung-hidung pembau kesempatan mencuri bangsa
dan menjadi jalan licin yang akan menjerembabkan
kecongkaan dan kerasnya tangan besi mereka

tiga puluh lima tahun setelah tangisan kelahiran
keberanianmu semakin tak menghalangi kepekaan sosial
lantang mencoba mengingatkan penguasa yang sok kuasa
agar menyadari perbuatannya jauh dari memakmurkan
bahkan untaian sederhana kalimat dalam puisi-puisimu
menerobos memasuki kampus tidur mahasiswa dari mimpi
dan membangunkan kesadaran muda-muda peduli
bahwa rakyat semakin terbuai kemudahan dan kemurahan
padahal mereka sedang dalam proses dibunuh dengan perlahan

ketajaman kata-kata sederhana lewat sisi puisimu
mampu mengiris kasar dan merobek halus
sekelompok manusia yang idealismenya “demi diri sendiri”
yang isi otaknya kerakusan angkara murka

kenyamanan dan kemapanan mereka terusik rima puisi
rasa kuasa mereka terganggu larik-larik kata transparan
kesempatan membuncitkan perut mereka terhambat
irama dan majas-majas gaya kebahasaanmu
kemarahan mereka mencapai klimaks kenikmatan
oleh deklamasi syairmu pada panggung tanpa dekorasi

mawar dikerahkan senjata kokangan disiapkan
hanya untuk membungkam rima persajakan,
hanya untuk menyenyapkan irama keindahan puisi.
hanya untuk menghambarkan gaya bahasa ironi,
hanya untuk membuat tawar nilai rasa dan bentuk bait,

tiga puluh lima tahun setelah kamu lahir menangis
pup tidak dalam pembalut bayi pipis pada tikar pandan kasur kumal
enambelas tahun setelah pahatan pensil karya-karya ironi
mampu membangunkan tidur lama reformasi
tak ada tangisanmu laksana lelapnya bayi tertidur
tak terbit ketransparanan kata-kata dalam larik dan bait
tak terdengar lagi pembacaan puisi dan deklamasi
di halaman gedung yang katanya istana negara

tapi biji-bijimu telah tersemai dan tumbuh
melalui rima persajakan dan irama pada bait
bahkan mengakar kuat tak tercabut tangan besi sekalipun
karena tafsiran makna telah dipahami sampai relung hati

sang biji telah tumbuh di halaman hati demokrasi
Fajar Merah terlanjur menanti hingga senja entah kapan
Entah ke berapa pula ramadhan dilewati tanpa puisi
Fitri hanya tersenyum setiap memandang fajar memerah
hanya doa khusuk terucapkan dan besarnya harapan
biar bapakku gak pulang “biji harus selalu tumbuh”

                                    Surabaya, 2 Juli 2014


GARUDAKU EMAS BUKAN MERAH DARAH


Ketajaman sorot matamu mematahkan nyali tiupan angin penghancur
Yang akan memerahkan warnamu

Menghalau asin air laut saat hendak memporak-porandakan
Untaian manikam nusantara tanah katulistiwa
Yang akan merubah jati diri warnamu menjadi merah

Agar biji bernilai kebangsaan yang luhur dan adiluhung tumbuh bersemi
Tulang kerangka sayapmu kokoh tatkala menerbangkan keinginan 
Dari ujung Aceh tanah kota serambi Mekah hingga Papua berlembah-lembah
Agar warnamu tak berubah merah

Runcing dan dahsyat patukan paruhmu mampu memilah biji-bijian
membenamkannya pada tanah jiwa dalam dua iklim panas dan hujan
Lalu hancurkan ulat belalang wereng pengerat batang
Hama berliur racun yang mengeroposkan sendi-sendi keragaman
Yang akan mengubahmu berwarna merah

Lembar-lembar bulu halusmu mampu menyejukkan sudut kebangsaan
Dan menggelorakan satu tumpah darah dan tanah air dalam keragaman warna yang tak kusam selamanya kecuali ada hasrat kemunafikan
Mencoba memerahkan warnamu

Cengkeraman jari-jari kakimu menggenggam ika kebhinekaan
Siap merobek dan mengoyak kekuatan ambisi bersarung tangan
Yang sengaja akan mengubahmu dalam satu warna merah


Kemuliaan kami karena membanggakanmu dalam tiap gerak langkah
Dan meradangkan patriotisme kami saat melantunkan marsmu
Terlebih saat ambisi tangan-tangan berdarah mengubah warna emasmu
Menjadi merah menyamarkan perisai kalung lima sila di lehermu

Warnamu emas karena begitu bernilainya tiap helai bulu dadamu
Sejak awal ketika tertatih-tatih laksana embrio bangsa mencoba merangkak lambang gula kelapa Majapahit mulai dikenal bangsa pedagang seberang
Dan Mataram meniupkan sangkakala akhlak didengar bangsa hidung panjang

Warnamu tetap emas kuning berkilau karena begitu berharga
Kebanggaanku panas api menggelora tak terpadamkan
dengan menempelkannya di dinding rumah anyaman bambu
dan dinding jiwa-jiwa yang mengaku akulah Indonesia

Akankah saudara-saudara kandungku di negeri ini tuli tak peduli?
Lantas harkat martabat kemashuran beradabnya terlecehkan?

Garuda tetap di dadaku dan tetap kuning keemasan
Bukan garuda merah yang kuku-kukunya berbau darah…

                                                                        Surabaya, 2 Juli 2014