(mengenang
sosok Wiji Thukul tanpa keberadaan pasti yang selama ini tidak akan pernah kukenal tapi
menginspirasiku)
jantung
sorogenen solo lima puluh satu tahun lalu
suara
tangisan kelahiranmu telah memekakkan
telinga dan
kebebalan hati manusia
yang akal
budinya tertutup kebusukan
bau
menyengat dari pup kecilmu tidak dalam pembalut
telah
membuat blingsatan orang-orang yang merasa besar
padahal
sebenarnya kecil kerdil dan dangkal perjuangannya
karena niat,
pikiran, dan tindakannya bersekongkol
melakukan
kejahatan demi tercapainya ambisi kekuasaan
air seni
yang kau tumpahkan pada tikar pandan kasur kumal
menyengat
hidung-hidung pembau kesempatan mencuri bangsa
dan menjadi
jalan licin yang akan menjerembabkan
kecongkaan
dan kerasnya tangan besi mereka
tiga puluh
lima tahun setelah tangisan kelahiran
keberanianmu
semakin tak menghalangi kepekaan sosial
lantang
mencoba mengingatkan penguasa yang sok kuasa
agar
menyadari perbuatannya jauh dari memakmurkan
bahkan
untaian sederhana kalimat dalam puisi-puisimu
menerobos
memasuki kampus tidur mahasiswa dari mimpi
dan
membangunkan kesadaran muda-muda peduli
bahwa rakyat
semakin terbuai kemudahan dan kemurahan
padahal
mereka sedang dalam proses dibunuh dengan perlahan
ketajaman
kata-kata sederhana lewat sisi puisimu
mampu
mengiris kasar dan merobek halus
sekelompok
manusia yang idealismenya “demi diri sendiri”
yang isi
otaknya kerakusan angkara murka
kenyamanan
dan kemapanan mereka terusik rima puisi
rasa kuasa
mereka terganggu larik-larik kata transparan
kesempatan
membuncitkan perut mereka terhambat
irama dan
majas-majas gaya kebahasaanmu
kemarahan
mereka mencapai klimaks kenikmatan
oleh
deklamasi syairmu pada panggung tanpa dekorasi
mawar dikerahkan
senjata kokangan disiapkan
hanya untuk
membungkam rima persajakan,
hanya untuk
menyenyapkan irama keindahan puisi.
hanya untuk
menghambarkan gaya bahasa ironi,
hanya untuk
membuat tawar nilai rasa dan bentuk bait,
tiga puluh
lima tahun setelah kamu lahir menangis
pup tidak
dalam pembalut bayi pipis pada tikar pandan kasur kumal
enambelas
tahun setelah pahatan pensil karya-karya ironi
mampu
membangunkan tidur lama reformasi
tak ada
tangisanmu laksana lelapnya bayi tertidur
tak terbit
ketransparanan kata-kata dalam larik dan bait
tak terdengar
lagi pembacaan puisi dan deklamasi
di halaman
gedung yang katanya istana negara
tapi
biji-bijimu telah tersemai dan tumbuh
melalui rima
persajakan dan irama pada bait
bahkan
mengakar kuat tak tercabut tangan besi sekalipun
karena
tafsiran makna telah dipahami sampai relung hati
sang biji
telah tumbuh di halaman hati demokrasi
Fajar Merah
terlanjur menanti hingga senja entah kapan
Entah ke berapa
pula ramadhan dilewati tanpa puisi
Fitri hanya
tersenyum setiap memandang fajar memerah
hanya doa
khusuk terucapkan dan besarnya harapan
biar bapakku gak pulang “biji harus
selalu tumbuh”
Surabaya, 2
Juli 2014