Kamis, 25 November 2010

AKU TAK MENJUAL GAWANG JANGAN MENAWAR

Tak akan aku masuk pola permainanmu
Apalagi hanya sekedar untuk kau ajak bermain-main
Hanya dalam kurun dua kali empat puluh lima menit
Bola ini sekarang menempel lekat pada kuasa kakiku
Aku ini pemain sekaligus wasit bagi perlombaan hidup


Andaikan bola kutendang jauh pun
Akan masih tetap jatuh dalam lapangan permainan
Andai bola kutendang masuk gawang sendiri pun
Kartu merahku tak akan membunyikan peluit
Karena dalam sakuku semua kartu berwarna merah
Aku ini pemain sekaligus penentu kemenangan dan kekalahanmu


Kuperlakukan diriku seperti aku sendiri
Bukan menjadi duniamu yang hanya berlari
Tanpa berusaha menggiring laju bola
Apalagi menyentuh dan melesatkannya
Yang hanya melompat-lompat kegirangan
Tanpa tahu apa musabab kegirangannya
Aku ini pemain sekaligus pemandu sorak- soraimu


Pantang bagiku menawarkan lebih lagi menjual obral
Harga nurani martabat pribadi padamu
Dan hanya akan kau tawar dengan liciknya muslihatmu
Tak hendak kujual semu samarnya tanda jasaku
Yang hanya akan kau gadaikan ulang di pasar hewan
Bursa ular tak bersisik dan tak berkaki penuh kutukan
Aku ini pedagang sekaligus pembeli kadar karat nilai sikapmu


Memberimu kecurangan curi-mencuri waktu
Sama halnya mengasah belati sangkur baja
Yang tajamnya lipat tujuh pisau pencukur rambut
Lalu menyayatkan sendiri pada leher kebijakan dan kebajikanku
Lantas mencabik-cabik hingga porak poranda nilai kebenaran
Yang selama ini menjadi pegangan jalannya perahuku
Aku ini nelayan sekaligus layar penentu arah anginku


Aku masih manusia apa adanya tetapi punya jiwa
Ada keinginan sama denganmu tetapi beda nilai rasanya
Mulutku keras berkata jangan dan tidak meski sumbernya bisikan
Sebab nuraniku pun sampaikan hal yang sama seperti itu
Jalan pikirku belum pernah sekalipun terasa sakit
Apalagi sampai hilang arah
Bahkan seperti baru saja terangkai
Belum dihanguskan api dunia
belum leleh oleh panas ambisi
Aku ini pembawa berita sekaligus kamera perekamnya


Memang sajianmu sempat mendesak air liurku
Bahkan siapa pun yang melihatnya meski sepintas lalu
Muda putih tak ada noda sengatan matahari
Beraroma keharuman pada sekujur lekuk tubuh
Dan berkesempatan memangku dunia dari kutub hingga sumbunya
Namun tetap saja dari dengusan nafas mulut hidungmu
Tercium aneka rupa aroma kematian dan bangkai
Terlebih lagi manakala percakapan akal saling bertemu
Itu pertanda ada kelicikan dan tipu muslihat bersarang
Pada pangkal hingga ujung kemanusiaanmu


Beruntunglah, aku masih menyimpan jiwa yang kutitipkan pada nurani
Tak hanyut oleh derasnya alur bawah sungai kehidupan
Yang berhulu di panas laknat api neraka
Tangan kepekaanku masih berpegang menggelantung
Pada akar tunggang serabut petunjukNya
Karena tanpa kusadari ada kekuatan dari segala kekuatan
Lembut penuh belas kasih menopang dan menegakkanku
Sampai yakin dan percayaku tak lagi melanglang
Menjelajah berpetualang di padang rimba
Dan aku tinggal menunggu saat kedatangan itu.
                             Surabaya, 24 November 2010


PANTUN MENUNGGU UAS


Masuk kelas hati tang tenang
Duduk teratur saling menjauh
Maksud hati berbuat curang
Sibuk bertutur bukunya jatuh


Lembar jawab di atas meja
Bendel soal dibagi Satu
Sukar sangat soal agama
Ketika sekolah tidur melulu


Menengok belakang kawan mencibir
Bertanya jawab bantu –membantu
Elok dan tenang teman berpikir
Mengharap benar malah tertipu


Berkaca pada cermin melengkung
Tampak jerawat gosong wajahnya
Membaca soal pikiran bingung
Tidak menjawab kosong nilainya


MERDUNYA NYANYIAN ISTERIKU

Pagi ini isteriku tercinta senandungkan nyanyian
Syairnya memilukan di dasar relung hati
Pilihan katanya sarat keluhan kiasan kepedihan
Kemasan nadanya penuh isak ratapan nurani
Keharuannya terdengar halus dan merdu ditelingaku
Tangga nadanya teriakkan beratnya beban hidup
Dan semua masih tentang keringnya mata air
Yang tiap pagi sepanjang perjalanan hidupnya
Digayungnya untuk memandikan anak-anakku
Agar mereka senantiasa merasakan kesegarannya
Dari ufuk pagi hingga senja menjelang dini


Siang kali ini isteriku tersayang bernyanyi lagi
Tentang angan-angan membawa buah cintaku
Menjelajahi bumi hingga bertemu batas tepi
Lalu memberinya aneka warna pada langit biru
Selama perjalanan tanpa kawan mengiring
Pada lorong remang berbatu berduri tajam
Yang sebagian basah lainnya mengeras mengering
Sedang beratnya beban empat mutiara hatiku
Terikat di pinggulmu terbawa berlari seorang diri


Tabuh sebelas lewat setengahnya sunyi sepi
Telinga jiwaku menangkap rintihan tangisanmu
Air matanya tak sempat kuyubkan luka hatimu
Deras memahat kubah hingga menembus kutub
Sedu pedihnya keindahan sisi paras kecantikanmu
Terlukis rapi pada deretan not balok keharuan
Untuk urungkan hasratku memejamkan mata
Hingga setengahnya sunyi sepi melampaui larut pagi


Dan pagi ini, lagi-lagi isteriku kekasihku
Melantunkan kekidungan penuh pujian
Pada Tuhan pembebas beban kehidupan
Yang ikut membasahi tiap bar pada titian nada
Merajut tenun melodi indahnya kehidupan
Lewat jentikan jemariku pada kapur di papan tulis
Bersama raibnya sesak masalah hilang dan berlalu


Nyanyikan saja tiap pagi lagu indahmu
Senandungkan saja setiap pagi sebelum kokok ayam berbunyi
Kidungkan segera pujianmu padaNYA meski kau sembunyi
Biarkan anak-anak kita terjaga
Lalu berlari kegirangan penuh bahagia
Mendengar nyanyianmu masih dalam setengah tidur
Meski pagi inimasih penuh kabut
Dan embun hanya sempat singgah sebentar
Pada ujung daun bambu depan rumah kita


Surabaya, 24 November 2010

Senin, 22 November 2010

AKU HANYA BISA LEWAT PUISI


DIPERMAINKAN RASA

Tepat di awal penanda mulainya pacuan ketajaman
hidup mati salah benar baik buruk mampu tak berdaya
dipertaruhkan hanya dalam hitungan menit tanpa detik
akal budi pikiran kebebalan kebodohan dan kepandaian
menyempatkan diri menggandeng kelicikan kecurangan
dan tipu muslihat agar memenangkan pertarungan

Saat dentang tiga kali aku melihat congkak dunianya
terkalahkan oleh sembilan puluh menit pertarungan
saat dua ribu sepuluh macam gaya strategi pola
dari gambar bentuk ketidakcerdasan berusaha
agar dirinya tidak terkalahkan
oleh majunya peradaban dan ilmu pengetahuan

Seharusnya mereka merasa tidak layak melakukan
karena hasil kecurangan itu tak terapresiasi jiwa
semestinya mereka tak berani maju di arena
selayaknya mereka akan gagal memperlambat waktu

Kecurangan menjadi kekuatan untuk diandalkan
pencurian waktu dibisikkan sang iblis lewat ketakutannya
permainan mata antar petarung bak lirikan penari Bali
kecepatan tangan bak pesulap menyilapkan tatapan
hingga keberanian untuk merebut bendera
dari sang penjaga garis

aku sempat tersenyum menikmati adegan ini

Ternyata kawan, mereka sedang dipermainkan
oleh persaingan nilai-nilai kehidupan dan taruhannya
juga oleh perseteruan kesucian pikiran,
keterbatasan pengetahuan
dan bujuk rayu si iblis laknat

Ternyata kawan, empat dari dua belas harapan
menggelepar terkalahkan oleh ambisi sendiri
sebelum sang pelatih melemparkan handuk
pertanda penyerahan diri atas kekalahan ini

Sembilan puluh menit pertarungan sengit
telah merobek urat-urat takut dan kengerian
dua belas kursi saling mengapit tanpa berderit
kalah..tergolek penuh sayatan pisau kebencian

setelah itu, mereka bergegas tinggalkan arena pacuan
laksana sang jagoan dipenuhi kemenangan

Tapi ketahuilah kawanku . . .
penonton telah meninggalkan panggung pertunjukanmu
sepuluh menit yang lalu sebelum layar penutup
warna-warninya aneka rupa tabiat diturunkan
karena mereka bosan akan permainanmu
dan tentunya watak yang kalian perankan

Surabaya, 22 November 2010

Kamis, 18 November 2010

TETAP LEWAT PUISI


HARI ULANG TAHUN ANAKKU

Hari ini anakku ulang tahun entah ke berapa
karena tak aku ajarkan untuk merayakannya
masih sama seperti tahun-tahun yang lalu
diulang mengulang dan terus berulang
tanpa gemerlapan cahaya lampu
tanpa lilin-lilin penunjuk umur
tanpa berhamburan rangkaian
kertas warna-warni dan balon-balon
serta tepuk riuh telapak tangan
dan tanpa nyanyian
seperti yang diharapkan

Aku sempat menitipkan cinta kasihku padanya
melalui kencangnya hembusan angin barat
bercampur serpihan debu pedihkan mata
melalui estafet kibasan umbul-umbul bendera
sepanjang jalan kota dan desa
melalui harapan tiap anak bangsa
yang mulutnya sempat berteriak “merdeka”

Aku tak akan memberinya kado ulang tahun
berisi berbagai mainan dan makanan
yang hanya akan melekat erat sesaat

aku akan membungkuskan dalam relung hatinya
mainan nilai kehidupan
memberinya satu set kuas dan cat
agar kehidupannya penuh warna
hingga tiap jiwa menikmati dan kagum padanya

Surabaya, 2010


JEJAK KECIL PADA ABU MERAPI



Kaki langit ufuk kaki gunung tak berjari
pekat merapat menutup lereng kehidupan
tercerabik ramahnya oleh gemeretak
gigi-gigi menahan kecemasan
pun bukan sekali kengerian
tak hendak lari cangkul sabit tertinggal
kegentaran hanya kawan beriring
ketika berjalan dalam kegetiran

Hijaunya  hamparan sayuran  bak titi nada
naik turun menggelantung kadang patah
tembang pengiring memantul di dinding bukit
pemadu senyuman di balik caping usang
kini sembunyi pada punggung sang gunung
tepat bersama keringnya akar yang terbakar
hingga kacang dan bebijian  menjadi belukar

Jalan setapak pematang tak lagi tampak
tak lagi melingkar apalagi berputar-putar
jejak kaki-kaki itu masih saja tak  bergerak
pijakannya dangkal  pertanda tak kekar
debu abu saling mengejar berebut haru
kian tebal  pada jejak tanpa ragu dan malu

Candanya menghilang sebelum sempat dikenang
keceriaannya  terkubur tatkala sedang makan bubur
nyanyian dan tariannya tergantikan jerit tangis
kuda kepang mainannya tak sempat ditambatkan
bisul Merapi terlanjur bernanah . . .pecah
jejak-jejak telapak mungil padang abu bertambah
memanjang menuju batas betis luka Merapi
tak ada darah bersimbah karena mereka kering
bersama tulang-tulang dan daging


Surabaya, 2010

MENURUTKU BAGAIMANA MENURUTMU

Menurutku, aku ini bapak yang gagal ikut ujian ketahahan hidup
gagal ikut ujian manajemen  kepekaan perasaan dan pola pikir
gagal merentangkan tangan anakku untuk memeluk dunia

Menurutku, aku ini ayah yang tak berhasil
melebarkan gelak senyuman anakku dan mungkin pula ibunya
untuk mengusir kekecewaan hati agar terpuaskan

Menurutku, aku ini bapak yang tuli dan tumpul pendengaran
tuli jeritan nyanyian melengking seribu harapan permintaan
hingga angan – angan anakku menggelepar
sekarat dan mati suri terpanggang dalam perjalanan waktu

Menurutku, aku ini ayah yang lemah
lemah menanggapi dan memenuhi tingginya cita-cita anakku
tak segera menghunus pedang meski anak panah terlanjur terlepas
melesat berdesakan menghimpit bertumpang tindih
siap menghujam jantung dan menembus pori keringat
lalu menghamburkan jalan pikiran di seluruh isi kepala

Menurutku, aku ini telah mengalirkan darah segar
lewat dentuman tepat pada nadi-nadi jiwa anakku
aku menyesal tidak meniupkan nilai nyawa sekalian
hingga mangkuk nampan penuang darah segarku membeku

Menurutku, aku ini bapak anak-anakku dan suami isteriku
yang telah rela menguliti diri sendiri dengan pisau tajam
untuk mengambil tulang tangan dan tulang kaki
lalu merebutnya menggenggam dan membanting sekuatnya
pada kerasnya batu karang kecongkaan dunia
yang semakin sulit dan kaku untuk bertekuk lutut

Tulang kaki kuajak berlari meski harus melalui rayuan
baluran param penghangat setiap pagi dan malam hari
tulang tangan kuhempas pada dinding sekolah lewat hati nurani
meskipun kerasnya hempasan tak memarkan wajah dunia
kepekatan otakku telah kupanaskan bahkan mendidih
layaknya mesin truk tua yang meraung-raung keberatan muatan

Menurutku, tanganku tak kalah panjang dari tangan anakku
senyumku tak kalah lebar dari anak dan isteriku
ketulian kupingku telah kuceruk dengan kuku kelingkingku
hingga desiran angin pun sempat kudengar
telah sempat kuminum air suplisi mineral penyegar ketuaanku
hingga kuat menopang keinginan dan harapan anak-anakku
telah kuhanyutkan sampah penyumbat aliran darah di kepalaku
dan tak kututup lagi dam air di otakku
agar anak-anakku berlenggang menapakinya

Mengapa ya . . . .?
Kerinduanku akan genggam erat tangan anakku
Kerinduanku akan gelak tawa buah hatiku
Kerinduanku akan nyanyian merdu permataku
Kerinduanku akan berserinya wajah pucat pasi anak dan isteriku

Berjalan lambat tak gegas sampai batas tujuan?


Surabaya, 2010