Selasa, 12 Januari 2010

PIAGAM


-->
PIAGAM


OLEH : Bb. SUMBOGO SISWOWIYONO
Salamun merebahkan tubuhya di kursi bambu panjang buatannya sendiri setelah menempuh perjalanan sejauh 12 km dari kota kabupaten ke rumahnya di kampung Rejowinangun. Keringat yang meleleh dari kening membasahi muka dibiarkannya tak diseka. Tangannya meraih koran terbitan dua bulan lalu yang ada di bawah meja kayu lapuk dan mengibaskannya di muka dada sekedar menghilangkan kegerahan siang hari itu. Kopi yang ditinggalkannya di meja sebelum ia berangkat ke kantor kabupaten diminumnya meskipun dingin. Asap mengepul dari mulutnya yang menghitam. Asapnya masuk rumah menyusur celah dinding kamar anyaman bambu dimana istrinya sedang mencoba menidurkan Yanti anaknya yang berusia dua tahun. Yanti terbatuk-batuk karena asap rokok bapaknya mengusik kedamaiannya begitu pula dengan Marni istrinya, perempuan yang tak pernah mengenal bersolek itu merasa asap rokok suaminya itu menjadikan pekerjaan menidurkan anaknya sia-sia. Ia bangun dengan hati-hati dan menghampiri Salamun yang tengah asyik memutar-mutar batang rokok di antara jari-jari tangan kirinya.
“Pak, pak! Berapa kali sih aku harus mengingatkanmu? Kalau merokok jangan di dekat kamar anaknya! Lihat batuk anakmu!”
Marni berlalu kembali masuk kamar anaknya, seketika karena tangisan dan rintihan Yanti memanggil. “Mak!”
“Iya,iya!”
Salamun segera saja menjentikkan rokoknya setelah isapan yang terakhir. Tak ada keinginan untuk memarahi Marni meskipun istrinya itu telah mengusik kenyamanannya. Ia sadar betul bahaya asap rokok terhadap anaknya yang masih kecil itu.
Keheningan suasana pedesaan semakin tergambarkan dengan beralihnya matahari yang semakin condong ke barat. Suara cicit kelelawar yang keluar satu per satu lewat lubang usuk batang bambu rumah Salamun. Lelaki paruh baya yang menginjak usia empat puluh tahun itu selesai mandi. Keharuman sabun batangan yang dipakainya memenuhi ruangan. Aromanya singgah di setiap lorong sudut rumah pemberian mertuanya. Kesetiaan pada kursi bambu panjang di depan rumah menjadikannya betah berlama-lama duduk di situ, kadang juga rebahan jika kantuk berat menghampiri bersama semilirnya angin yang membuainya.
“Kenapa tadi pagi kuturuti keinginanku untuk melihat pengumuman penerimaan CPNS di kabupaten? Sial, apes! Lagi-lagi namaku tak tertulis di kertas itu” gerutunya.
Salamun telah mencoba melamar menjadi PNS sebanyak 9 kali semenjak lulus S1 jurusan ilmu sejarah dari sebuah perguruan tinggi swasta di Jogja. Untuk lamaran kali ini adalah kesempatan yang terakhir baginya karena aturan batas usia, Jika lamarannya gagal hilanglah harapan untuk menjadi pegawai negeri. Harapan yang sering diperebutkan oleh berjuta-juta lulusan IKIP pencari kerja se-Indonesia.
Selama ini, Salamun menjadi guru di Sekolah Menengah Pertama swasta milik sebuah yayasan di Argosari sebuah desa terpencil yang jauh dari kota kecamatan.. Meski honornya dibilang tak mencukupi tapi pekerjaan itu telah ditekuninya selama sepuluh tahun lebih.
Sejak pertama mengajar di sekolah itu Salamun selalu datang paling pagi bahkan lebih pagi dari penjaga sekolah, terus-menerus setiap pagi. Itu dilakukannya karena Salamun melihat banyak guru yang datang seenaknya. Ada yang datang pas jam dimulainya pelajaran ada pula yang nekat melebihi jam tujuh meski semua guru tahu kapan bel tanda dimulainya pelajaran berbunyi. Salamun punya keinginan memotivasi teman-temannya dengan memberikan contoh untuk melakukan pekerjaannya dengan benar dalam semua hal terlebih kedisiplinan.
Tapi apa yang dilakukannya tidak semudah yang dibayangkan Salamun. Tantangan muncul justru dari beberapa kawan sesama guru yang merasa kenyamanannya terusik sejak kedatangannya. Beberapa kawannya itu tetap datang mengajar dengan seenaknya. Masuk kelas untuk mengajar pun tanpa membawa perangkat mengajar padahal dalam perangkat itulah tujuan dan materi yang akan disampaikan ke siswa ditulis. Salamun menyayangkan itu sebab beberapa temannya itu adalah guru pegawai negeri yang diperbantukan di sekolah swasta. Guru yang seharusnya lebih bertanggung jawab terhadap masa depan para muridnya karena ia dibayar dari uang rakyat.
Pikiran Salamun menerawang kembali ke waktu saat ia berdesak-desakan dengan beratus-ratus pelamar hanya untuk memenuhi keinginannya menjadi pegawai negeri. Dan itu dilakukannya setiap tahun selama ada pengumuman formasi kepegawaian.
”Aku harus memberi contoh dan bisa mengubah kebiasaan yang sudah ada selama ini” gumam Salamun saat hari senin pagi ia baru saja tiba di sekolah dan meletakkan tas kerja di atas meja.
“Mana mungkin Pak Mun, mereka sudah melakukan itu bertahun-tahun sebelum Bapak datang ke sini”, kata Parjo tukang kebun sekolah “Dan saya juga jadi tidak tergesa-gesa merebus air dan menyiapkan minum bagi mereka”
“Rupanya pikiranmu tercemar juga, Jo. Akankah kamu juga mengorbankan anak-anak di sini, membiarkan mereka sekolah tetapi tetap bodoh?” Kata Salamun sambil mengangkat tas kerjanya yang tergeletak di meja karena kemoceng si Parjo menyapu debu-debu yang memenuhinya.
“Bukan begitu Pak Mun. Saya sebenarnya juga tidak rela jika Siti keponakan saya itu sekolah tapi tak nampak kemajuannya karena gurunya mengajar sambil membaca koran saat siswa mengerjakan tugasnya. Eh..maaf Pak Mun, saya jadi menyinggung seseorang” Parjo nampak agak ketakutan mengatakan itu.
Ada penyesalan di wajah Parjo setelah tanpa sengaja ia membuka aib seseorang. Dan ia segera berlalu sesaat setelah Pak Sutedjo kapala sekolah memasuki ruang guru.
Sutedjo, kepala sekolah yang telah memimpin sekolah itu selama15 tahun adalah sosok manusia pendiam yang kewibawaannya makin meluntur seiring uzurnya umur.
“Selamat pagi Pak Tedjo! Bagaimana sakitnya? Sudah membaikkah?” tanya Salamun kepada pimpinannya itu.
Salamun sebenarnya tidak sampai hati melihat keadaan pak Tedjo. Akhir-akhir ini pak Tedjo sakit-sakitan. Sakit menahun asma yang dideritanya sering kambuh. Kalau sudah demikian pak Tedjo tidak masuk dan jalannya kegiatan sekolah dilimpahkan kepada bu Sulastri wakilnya.
“Selamat pagi” jawabnya dengan nada pelan menahan sakit. ”Sudah mendingan Pak Mun, meski harus tetap rutin minum obat, sampai bosan rasanya”, keluh pak Tedja “Saya dengar Pak Salamun baru kembali dari kabupaten?” tanyanya.
“Benar, Pak. Tapi hasil akhirnya saya tetap tidak lulus seleksi dan mungkin masih tetap mengajar di sekolah ini Pak Tedjo”.
Pak Tedjo terbatuk-batuk, tangan kirinya memegang dadanya sebelah kanan. Tampak mencoba menahan rasa sakit di dadanya. Ia sebelumnya adalah seorang perokok berat yang dalam satu hari bisa menghabiskan 4 bungkus rokok kretek. Dan yang ia sukai adalah rokok kretek buatan dari Kudus.
“Baguslah kalau begitu. Dan sekolah ini tidak perlu kehilangan seorang guru yang menurutku dapat menjadi contoh bagi mereka yang pekerjaannya makan gaji buta”, kata Pak Tedjo dengan agak geram.
Entah kegeraman apa yang sedang dirasakan pak Tedjo, Salamun sendiri tidak tahu, dan tak ada keinginan untuk mencoba mengetahuinya. Kecuali beberapa waktu yang lalu Salamun mendengar dengan tidak sengaja percakapan antara Pardjo dan Sarman yang juga tukang kebun. Bahwa dua hari yang lalu Pak Tedjo ditegur kepala dinas sehubungan dengan banyaknya pengaduan dari orangtua siswa yang memprotes beberapa guru karena sering meninggalkan jam pelajaran sekolah hanya untuk membeli bedak atau alasan lain yang memang kurang bisa dipertanggungjawabkan.
“Apakah yang Pak Tedjo maksud . . . .?” Salamun tak berani melanjutkan kalimatnya karena ia tidak ingin melibatkan dirinya dalam permasalahan Pak Tedjo.
“Pak Mun. Apakah Pak Mun bersedia menolong saya? Ini sangat penting demi kelangsungan sekolah kita. Agar murid-murid di sini dapat belajar yang sesungguhnya, Pak Mun”.
“Saya akan bantu selama saya mampu Pak. “
Salamun heran. Tak biasanya pimpinannya itu agak mengiba minta bantuan. Dan entah mengapa Salamun menganggukkan kepala tanda setuju, padahal Salamun belum mengerti apa yang diinginkan pak Sutedjo.
Sutedjo kemudian menjelaskan maksudnya kepada Salamun. Ia merasa sudah waktunya untuk istirahat dari segala aktifitas urusan sekolahan, guru yang korup waktu, dan tekanan dari pihak yayasan. Disamping penyakit asma yang semakin menggerogoti badan kerempengnya. Sutedjo mempercayai Salamun karena di matanya hanya dialah satu-satunya harapan agar sekolah yang telah dipimpinnya selama limabelas tahun itu dapat berlanjut mengambil peran mendidik anak bangsa.
“Tapi, tapi mengapa saya Pak? Bukankah ada Bu Lastri?”
Salamun keheranan dengan keputusan yang diambil kepala sekolahnya itu. Dan dia menjadi tidak enak hati dengan bu Lastri. Dia merasa takut dituduh merebut kesempatan temannya yang sejak semula sudah berambisi menggantikan pak Sutedjo menjadi kepala sekolah.
“Tidak Pak Mun. Tidak. Beliau ini meski perempuan juga sama saja. Anda tahu sendiri bagaimana keadaan disini. Keadaan yang semakin lama tidak menjadikan siswa merasa nyaman belajar tapi justru keadaan yang semakin bertolak belakang dengan idealisme pendirian sekolah ini sejak semula. Bahkan tempat ini hanya dipakai sebagai sarana bersembunyi para pemakan gaji buta berkedok pengabdian. Saya tidak rela Pak Mun. Karena itu saya berharap anda bersedia menggantikan saya memimpin sekolah ini.” Pinta pak Sutedjo sambil memegang erat lengan Salamun.
Bersamaan itu pula dentang lonceng besi bekas velg truk tua berbunyi menandai dimulainya pelajaran karena waktu sudah menunjukkan pukul tujuh.
Keriuhan siswa mencoba mendahului berjalannya waktu. Gegapnya memenuhi tiap sudut lorong antar kelas. Rasanya pada saat itu waktu seolah berlari dalam ketergesa-gesaan. Dan anak-anak dengan keluguannya mencoba sesegera mungkin lebih dulu berada dalam kelas sebelum gurunya. Masih ada niat baik dan rasa tanggung jawab dalam kepolosan tiap anak di tempat itu. Hati dan pikiran mereka belum ternodai oleh kesemuan hasrat dan kepalsuan keinginan.
Inilah yang membanggakan hati Salamun sekaligus pengikat hati untuk tidak meninggalkan mereka begitu saja. Hati dan perasaan Salamun tak tega untuk menodai ketulusan dan kepolosan itu.
“Maaf, Pak. Saya tinggalkan dulu. Saya mau ngajar,” kata Salamun sambil berlalu dan belum sempat menjawab permintaan pak Sutedjo.
--------------------------------------------
Salamun merebahkan badannya masih di tempat yang menurutnya paling nyaman di dunia, kursi bambu panjang di teras depan rumahnya. Kali ini tanpa kepulan asap rokok karena ia tak ingin , Marni ,istrinya marah dan menggunakan alasan penyebab batuk anaknya karena asap rokok yang dihisapnya. Tatapan matanya menelusuri langit-langit rumahnya yang sudah tampak kotor makin menebal debunya dan mulai melapuk termakan usia. Beberapa sarang laba-laba melekat erat pada dua bambu bersebelahan, semakin melengkapi tidak terawatnya rumah peninggalan sang mertua.
Kembali permintaan pak Tedjo untuk menggantikannya sebagai kepala sekolah seolah terngiang di telinganya. Diterima berarti Salamun harus berhadapan dengan guru-guru yang dedikasinya “sak karepe dhewe”, ditolak berarti Salamun harus melihat orang tua dengan penyakit dan wibawanya sedang dirongrong oleh anak buahnya sendiri.
Salamun bangun dari rebahannya dan beranjak menghampiri suara tangisan dari dalam kamar sesaat setelah tangisan anaknya itu menyadarkan dirinya dari permainan angan-angan.
Diangkatnya anak kesayangan itu dari tempat tidur dan dengan pelan berhati-hati diletakkan kepala mungil itu dipundaknya, dengan harapan ia mau tertidur lagi. Istrinya belum kembali dari belanja di warung si Jhoni. Barangkali saja istrinya saat ini sedang beradu argumentasi dengan Jhoni, agar diberi hutangan beras tiga liter dan sabun colek dua bungkus. Salamun kembali tersadar bahwa sudah dua minggu ini ia tidak memberi jatah uang kepada istrinya untuk berbelanja. “Dari mana Marni dapat uang?” gumam Salamun, “Apakah Marni ngutang lagi untuk keperluan hidup sampai datang tanggal gajian nanti?”
Diam-diam Salamun memuji kesigapan Marni. Wanita yang sudah lima tahun dinikahinya itu mampu menentukan sikap dan mengambil tindakan yang tepat demi kelangsungan hidup keluarga. Ia tak pernah menuntut berlebihan dari sang suami. Bahkan Marni lebih banyak bersikap diam tatkala suaminya mengeluh, meminta maaf, tak dapat memberikan uang belanja.
Salamun mensyukuri anugerah Tuhan yang telah memberikan wanita “nrimo ing pandum” sebagai pendamping hidupnya. Salamun mencoba membaringkan anaknya dari gendongan ke tempat tidur. Perlahan dan hati-hati sekali. Ia tak ingin anaknya terbangun lagi dan merenggek minta dibuatkan susu. Dan usahanya berhasil. Anaknya telah dengan pulasnya tidur.
Salamun kembali mencoba menelusuri kehidupannya. Kali ini tidak dari kursi bambu tapi dari kursi rotan di ruang tamu yang ditata rapi oleh Marni. Di samping kanannya bufet kaca yang di tiap raknya tersusun rapi pula berbagai pajangan mulai dari piring, gelas, boneka, dan barang lain yang mungkin saja tak ada manfaatnya. Hanya sekedar untuk memenuhi bufet kaca. Tampak pula di rak paling atas berjajar berbagai piala, tropy, dan piagam-piagam penghargaan atas namanya. Penghargaan atas berbagai prestasinya selama menjadi guru. Mulai dari penghargaan juara menulis esai pendidikan sampai penghargaaan guru teladan tingkat kabupaten berhasil ia capai.
Mata Salamun menatap tajam piala, tropi, dan kumpulan piagam penghargaan itu. Ada kebanggaan dalam dirinya dari berbagai penghargaan yang pernah ia dapatkan. Tapi kebanggan itu berlalu dari realitas kahidupannya. Salamun merasakan ketakutan yang luar biasa saat menatap piala, tropi, dan berbagai kertas penghargaannya. Benda-benda itu tak mampu menuntun kehidupannya kepada sekedar keinginan menjadi pegawai negeri sipil yang konon gajinya menjanjikan kesejahteraan. Benda-benda itu seolah telah menggorok leher Salamun dan anak isterinya hingga mati dari hakikat hidup. Benda-benda yang pernah dibanggakannya itu kini dianggapnya sampah yang tak layak lagi di simpan di bufet sebagai penghias ruang tamu. Namun, lebih cocok jika dibawa ke loak untuk dijual kiloan dan dipakai sebagai kertas pembungkus.
Salamun beranjak menghampiri bufet itu, membuka, dan meraih kertas-kertas piagamnya mengamati sejenak dan berniat meremasnya, jika saja istrinya tidak datang dan mengigatkannya.
“Pak. Bukankah kertas piagam itu bisa kita simpan sebagai kenang-kenangan? Dan barangkali pula bisa kita pakai sebagai bahan cerita pengalaman hidup kepada anak cucu kita? Sayang khan Pak kalau dibuang?” Demikian Marni mencoba menghibur suaminya yang tampak lesu tak bersemangat karena kekecewaannya dan karena hilangnya kesempatan untuk menjadi PNS, seperti yang diharapkan orang tuanya dulu sebelum meninggal.
Salamun hanya diam terpaku, ada pancaran penyesalan di wajahnya yang begitu mendalam. Kenapa ia menolak saat bapaknya dulu bermaksud menjual satu hektar sawahnya untuk memuluskannya menjadi PNS saat seseorang menawarinya melalui jalan belakang. Salamun menyumpahi dirinya sendiri, “Aku memang bodoh!”
“Sudahlah, Pak! Tidak jadi pegawai negeri pun kita bisa hidup, bisa mencukupi kebutuhan kita, bahkan kita bisa membantu orang lain”, Marni berusaha menghibur dan membesarkan hati suaminya. “Bukankah tenaga dan pikiran Bapak sangat dibutuhkan oleh Pak Tedjo? Tenaga dan pikiran untuk mengubah sikap dan perilaku para guru di sekolahan bapak saat ini? Agar anak-anak di kecamatan ini khususnya, benar-benar terbangun kepandaiannya, lebih-lebih terbentuk pribadi dan budi pekerti luhurnya…supaya kelak anak-anak itu tidak berwatak “sak geleme dhewe” seperti pendahulunya,” kata Marni, wanita yang setia mendampingi hidup Salamun itu.
Permintaan pak Tedjo terhadap dirinya kembali terngiang menghampiri pikirannya. Permintaan yang tak mudah untuk di-iyakan oleh Salamun, karena beban tanggung jawabnya begitu berat, harus mengubah banyak hal yang sudah terlanjur menancap kuat dan berakar sebagai kebiasaan.
Salamun menghampiri Marni, yang tengah duduk sambil menghitung pengeluaran belanjanya kali ini. Ia merebahkan begitu saja kelesuan tubuhnya di samping istrinya itu. “Bu, maafkan aku ya! Sampai saat ini aku belum bisa membahagiakan kamu dan Yanti anak kita,” keluh Salamun. “Aku terlalu idealis dengan angan-anganku, hingga realita kehidupan terlupakan dan berakibat pada kurang perhatianku kepada istri dan anakku.”
Tangan lembut Marni memegang pundak suami tercintanya. “Sudahlah Pak, jangan menyesali hal itu. Kamu adalah suami yang baik karena masih mempunyai angan-angan hidup dan idealisme. Setidaknya Bapak mempunyai satu hal yang sudah diperjuangkan meskipun akhirnya tidak seperti yang kita harapkan bersama.”
Kata-kata Marni yang tulus dirasakan sebagai siraman air yang sangat dingin, yang mampu meluluh-lantakkan keharuan hati seorang yang begitu tegar dan teguh selama ini. Salamun menangis meski airmatanya masih kuat ditahannya di kelopak mata. Hatinya bagai terketuk-ketuk tangan lembut penuh kasih oleh perempuan, istrinya sendiri.
“Pertimbangkan dengan baik permintaan pak Tedjo itu, Pak! Bukan masalah berapa besar gaji yang akan Bapak terima nanti, tapi masalah tanggung jawab sebagai seorang guru sekaligus pendidik di sekolah itu.”
-------------------------------------------------------------------
Pagi itu seperti biasanya, Salamun datang lebih awal dari semua orang di sekolah. Suasana masih tampak sepi. Anak-anak sekolah belum satu pun yang tampak hadir. Sesekali melintas di depan sekolah, beberapa tetangganya yang hendak berangkat ke sawah memanggil dan menyapanya. “Pagi, Mas Guru!” sapa mereka setengah berteriak dari kejauhan. “Mas Guru, jangan lupa nanti sore main catur lagi ya!”teriak Pak Cokro petani jagung, yang tiap sore menemaninya bermain catur. “Titip Udin, ya Pak!”, teriak Dayat yang baru punya anak satu, Udin namanya.
Suasana kembali senyap seiring berlalunya sapaan-sapaan para petani itu. Salamun menyandarkan bahunya pada pilar tiang penyangga teras kelas. Keluguan dan kesederhanaan kehidupan pedesaan selama kurun waktu sepuluh tahun terakhir ini, telah menempa pribadi Salamun menjadi sosok yang memahami benar makna kesederhanaan. Bukan kesederhanaan yang menyerah pasrah pada keadaan, tetapi kesederhanaan yang tetap mengedepankan keinginan untuk maju dan tidak ketinggalan oleh laju perkembangan dunia. Terbukti pada keinginan penduduk yang 90 % adalah petani tulen, untuk selalu mengikuti perkembangan teknologi pertanian meskipun hanya melalui siaran radio atau televisi tetangga. Inilah salah satu yang menyebabkan Salamun merasa berat untuk menanggalkan statusnya sebagai guru di desa Argosari kemudian meninggalkan mereka begitu saja. Keramahan,keluguan, kesederhanaan, kejujuran, kepedulian, dan rasa saling menghargai, telah membuat Salamun menjadi bagian dari kehidupan desa ini. Ia merasa punya tanggung jawab untuk memajukan desa ini, terutama pendidikan bagi anak-anak usia sekolah. Ia tak rela jika kepolosan dan antusiasme mereka teracuni oleh kebohongan dan kepalsuan gurunya, lebih-lebih guru yang telah diangkat menjadi pegawai negeri tetapi melalui jalur “titipan” dengan sejumlah uang pengganti jasa. “Mau jadi apa…anak-anak ini?” gumam Salamun.
“S-e-l-a-m-a-t p-a-g-i…Pak Sal..! sapaan hangat bersamaan dari beberapa siswa yang sudah mulai datang mengagetkannya sekaligus membuyarkan lamunannya.
“Eh…selamat pagi, Nak!”, jawabnya dengan ramah.
“Kok, kalian datang pagi sekali?”, tanya Salamun karena tak biasanya murid-muridnya datang sepagi itu.
“Khan, Bapak sendiri yang berpesan kepada kami untuk datang lebih awal, agar kami lebih siap belajar.” jawab Mardi, ketua kelas 8A.
“Bagus Nak! Dengan datang lebih awal berarti kalian bisa belajar lagi materi yang kemarin.” Puji Salamun. “Dan ini akan menjadi kebiasaan bagi kalian kelak jika sudah menjadi orang dewasa. Karena segala sesuatu itu akan lebih baik jika kita persiapkan seawal mungkin dan hasilnya pasti akan lebih memuaskan.”
Anak-anak menganggukkan kepalanya tanda memahami apa yang baru saja disampaikan gurunya itu. Mereka sangat menghormati Salamun sebagai seorang guru, karena selama ini mereka beranggapan bahwa Pak Salamun sangat mengasihi dan memperhatikan mereka.
Satu per satu mulai anak-anak mulai berdatangan, menyapa Salamun dan mengulurkan tangan-tangan mungilnya untuk menjabat tangan guru yang dicintainya itu, kemudian memasuki kelas mereka masing-masing. Tawa kelakar mereka menghangatkan suasana pagi hari itu. Keriuhannya menghidupkan kesyunyian desa Argosari.
Salamun mengamati Mamad, siswa kelas 7C, yang tergopoh-gopoh berlarian menyambut kedatangan Pak Tedjo di gerbang sekolah. Seperti sudah menjadi kebiasaan sejak dulu, guru yang datang naik sepeda pasti akan turun di gerbang sekolah, lalu menuntun sepedanya hingga bawah pohon trembesi depan kantor guru, karena sekolah itu belum mempunyai tempat untuk memarkir sepeda. Nah, pada saat itulah para siswa seolah berlomba saling berebut untuk membantu menuntun sepeda hingga tempat di mana gurunya biasa meletakkan sepeda itu. Dan kebiasaan seperti itu sudah dilakukan oleh sekolah-sekolah dasar hingga tingkat menengah pertama, yang berada di pelosok desa dan beberapa sekolah di pinggiran kota. Itulah salah satu bentuk penghargaan siswa kepada gurunya.
Salamun menyambut Pak Tedjo, mengulurkan tangannya sekedar memberi salam sebagai tanda hormat pada pimpinannya. “Selamat pagi, Pak!”sapa Salamun seperti biasanya. “Selamat pagi juga Pak Mun. Terima kasih, selama ini andalah satu dari tigapuluh guru yang selalu memberi salam dengan menjabat tangan saya. Saya rasakan itu sebagai suatu kehormatan bagi diri saya.” kata pak Tedjo dengan masih menggenggam erat tangan kekar Salamun. Memang selama ini para guru hanya sekedar basa-basi dalam menyapa teman sejawatnya. Terlebih pula kepada Pak Tedjo. Bahkan kadang mereka memilih menghindar daripada sekedar bertemu, memberi salam dan berjabat tangan. Ini terjadi karena tingginya “keakuan” mereka, hasil negatif dari proses tidak kuatnya pertahanan jati diri kebangsaan dalam konteks kontaminasi kebudayaan.
“Pagi ini Pak Mun ngajar? tanya pak Tedjo. “Kalau tidak ada jam ngajar, saya minta Pak Salamun menemui saya di kantor,” lanjut pak Tedjo. “Kita lanjutkan pembicaraan kita kemarin yang belum selesai.” sambil berlalu meninggalkan Salamun yang belum sempat menjawab permintaan pak Tedjo.
Kembali velg bekas truk dipukul si Parjo, tepat pukul tujuh pagi. Keriuhan dan gegap gempita dari anak-anak yang berebut untuk menyiapkan diri berbaris di muka pintu kelas menjadi kebiasaan yang tak lekang. Mereka masuk kelas satu per satu dengan rapi dalam barisan lurus membujur. Selurus niat dan sucinya jiwa anak-anak pedesaan untuk memperoleh pendidikan yang layak dan bermutu.
Hampir selang tiap sepuluh menit setelah teriakan velg bertalu, pak Agus guru PPKn, yang baru saja menerima SK pengangkatan PNS-nya datang dengan wajah kuyu nampak habis begadang semalam. Ia terlambat memasuki kelas sepuluh menit. Setelah itu pak Supri, guru olah raga yang postur tubuhnya kurus kering sama sekali tak mencerminkan penampilan seorang guru yang berkecimpung di bidang olah tubuh, yang juga sudah sepuluh menit lebih ditunggu murid-muridnya di lapangan belakang sekolah. Selanjutnya pak Cecep, pak Dodi, bu Eri, bu Fifi yang rata-rata juga terlambat datang hampir tiga kali dalam seminggunya.
Pak Sutedjo mengamati mereka dari dalam kantornya. “Tak banyak yang diharapkan dari mereka,” gerutunya. “Dan ini tak akan kubiarkan berlarut-larut di akhir masa jabatanku. Harus segera ada perubahan. Hasil evaluasi terhadap para abdi negara yang “sak geleme dhewe” itu akan kusampaikan kepada mereka, sebagai bahan pertimbangan untuk mengambil tindakan berikutnya demi perubahan di sekolah ini, dan satu-satunya harapanku adalah kesediaan Pak Salamun menggantikanku.” Pak Sutedjo sebagai Kepala Sekolah merasa lega setelah para guru yang mempunyai jatah jam mengajar mulai masuk kelas masing-masing melaksanakan tugasnya, meskipun sengaja tidak siap perangkat mengajar, karena mereka “merasa tahu” dengan apa yang harus dilakukannya.
Suasana sepi, hanya sesekali terdengar suara guru menyampaikan materi pelajaran dari kelas yang sedang diajarnya. Salamun masih duduk di belakang meja kerjanya. Ia ragu-ragu untuk menemui Pak Tedjo dan memenuhi permintaannya, karena menurutnya apa yang diinginkan pimpinannya itu berat untuk dijawab dan dipenuhi. Tetapi sebenarnya kedua manusia itu, baik Salamun maupun Sutedjo, mempunyai visi dan misi yang sama dalam pendidikan yaitu bertanggung jawab terhadap siswa sebagai subjek yang harus diolah dengan benar, tulus, dan berkasih sayang hingga harapan untuk mencetak generasi yang “tak sak karepe dewe” sesuai dengan keinginan Salamun dan Sutedjo terwujud.
Keberanian Salamun untuk menemui kepala sekolahnya timbul seketika, setelah rasa kesalnya terhadap keadaan yang bertolak belakang dengan nurani mulai menghantuinya lagi. Rasa kesal untuk ingin segera menyudahi. Rasa kesal adanya pembodohan yang sistematis. Rasa kesal akan suburnya “pencurian waktu”. Rasa kesal terhadap dirinya sendiri yang tak mampu berbuat apa-apa.
Salamun mengetuk pelan pintu kayu yang sudah mulai lapuk karena sebagian termakan rayap. Dari celah papan pintu Salamun melihat pimpinannya itu mengangguk tanda mempersilakannya masuk.
“Bagaimana pak Mun? Masihkah perlu waktu untuk menimbang-nimbangnya?” desak pak Tedjo. Kali ini Salamun kembali dibingungkan dengan keadaan “apa seharusnya jawabanku.”
“ Saya minta waktu lagi Pak. Karena ini menyangkut banyak hal.” Pinta Salamun.
“Jangan lama-lama. Kapan jawabannya saya terima? “
“Dua hari lagi Pak. Saya pastikan itu.”jawab Salamun.
---------------------------------------------------------------
Salamun berada di persimpangan jalan, ia harus memilih, mengambil sikap, dan menentukan. Ia memahami permasalahan ekonomi keluarga yang disampaikan istrinya. Memang, jika tetap menerima atau bertahan tinggal dan bekerja di Argosari berarti ia harus mengorbankan keluarganya untuk berada pada posisi kekurangan tiap bulan. Harus mendengar rengekan Yanti menangis minta minum susu. Harus siap di maki-maki Bu Imah karena utang istrinya di warung semakin besar dan belum terbayarkan sedikitpun. Belum lagi biaya hidup lainnya yang semakin meninggi tak tergapai. Terbayang di pikirannya tatkala ia melihat sendiri bagaimana istrinya mengeluh tentang harga minyak tanah yang sudah mencapai empat ribu lima ratus rupiah per liternya. Beras kwalitas rendah mencapai harga lima ribu rupiah per kilonya. Belum lagi gula pasir, minyak goreng, serta barang kebutuhan hidup lain yang juga semakin melonjak.
Dan jika menolak tawaran Pak Sutedjo kepala sekolahnya, berarti ia harus meninggalkan banyak jiwa yang telah terlanjur menyatu dalam kehidupannya. Jiwa-jiwa yang penuh harapan pada setiap langkah kehidupannya. Ia juga harus meninggalkan kepolosan anak-anak yang mulai bangkit dan bersemangat untuk belajar. Ia harus membiarkan mereka terimbas oleh ulah oknum “semau gue” dalam belajarnya. Ia harus memutus syaraf kepeduliannya hingga entah apa yang akan terjadi pada pak Tedjo dan sekolahnya. Ia meninggalkan pak Cokro teman bermain catur, Dayat, Mardi, dan tetangga lainnya, yang sudah dianggap sebagai saudara sendiri. Tapi yang pasti Salamun meninggalkan komitmennya untuk mengubah perilaku menyimpang teman-teman sejawatnya dalam berdedikasi, dan tentunya Salamun mempertaruhkan masa depan anak-anak desa Argosari dan sekitarnya.
“Pak! Anak kita semakin besar , semakin membutuhkan biaya. Dan kalau kita bertahan di sini, kita sendiri yang akan jadi korban…!” kata istrinya setelah Salamun mencoba mengajak berunding. “Aku sangat mendukungmu dalam pekerjaan muliamu, Pak. Tapi coba lihat kenyataan hidup kita. Utang kita semakin menumpuk dan bapak tidak dapat hanya mengandalkan honor dari tempat Bapak ngajar.” Tambahnya. Salamun diam termenung membenarkan pendapat istrinya itu. “Aku harus segera memutuskan dan memberi jawaban kepada pak Tedjo. Kasihan dia.” katanya setelah mempertimbangkan banyak hal termasuk alasan masuk akal istrinya.
----------------------------------------------------------------------------------
Seperti pagi-pagi biasanya, Salamun datang pukul 05.45. Kali ini langsung masuk kantor guru, duduk di belakang meja kerjanya lalu mencoba menyiapkan bahan ajar. Matanya merah lantaran sepanjang malam tadi tidak tidur hanya untuk mencoba mencari jalan keluar namun tak juga menemukannya. Lidahnya terasa pahit karena teh hangat yang diminumnya tanpa gula terasa menusuk tiap sisi indera rasanya, gara-gara bi Imah sudah tidak lagi memperbolehkan bon belanjaan.
Tak lama kemudian satu per satu guru-guru lain berdatangan. Dan entah mengapa hari ini mereka tidak datang terlambat seperti biasanya. Mereka saling menyapa, memberi salam dan duduk di tempatnya masing-masing. Ada sesuatu yang aneh dirasakan Salamun pagi itu. Suatu perubahan kebiasaan seperti yang diharapkan Salamun dan pak Tedjo. Mereka pun memasuki ruang kelas tepat waktu sesuai jadwal yang dibuat bu Lastri sebagai wakasek kurikulum. Salamun keheranan melihat hal itu, tetapi ia bersyukur dan mengharapkan kedisiplinan teman-temannya seperti itu bukan merupakan sekedar pemanis agar surat usulan kenaikan pangkatnya ditandatangani kepala sekolah.
Kali ini Salamun telah menyiapkan jawaban untuk pertanyaan dan permintaaan Pak Tedjo. Harapannya kepala sekolahnya itu dapat menerima dan memaklumi jawaban yang disampaikan itu, meskipun Salamun paham benar akan kekecewaan pak Tedjo.
Tapi mau apalagi, itulah pilihan hidup. Salamun tidak mau memunafikkan dirinya dengan lebih memilih “pengabdian tak kunjung akhir”. Ia lebih memilih berpikir rasional bahwa anak dan istrinya perlu biaya untuk hidup. Anak dan istrinya ingin perubahan taraf kehidupan. Bukan sekedar menikmati keramahtamahan, keluguan, dan kepolosan bernuansa kehidupan pedesaan. Salamun tak mau dianggap kepala keluarga yang idealis tapi melupakan tanggung jawab terhadap keluarganya.
Saat maksud itu disampaikannya, pak Tedjo hanya terdiam tapi memaklumi, harapannya untuk mempertahankan kelangsungan sekolah dengan mengadakan perubahan yang paling mendasar yaitu “kedisiplinan” kembali menjadi nol. Sementara dia tak mampu berpikir sendiri tanpa kawan seiring semaksud seperti Salamun.
Salamun bergegas menyalami beberapa teman guru, para murid, dan kepala sekolahnya dua hari setelah ia menyampaikan maksudnya. Beberapa siswa yang sudah merasa dekat dengan gurunya itu terisak-isak gambaran keberatan hatinya ditinggalkan guru tercinta. Lambaian tangan dan senyum kekecewaan mengiringi berputarnya roda-roda pik-up tua yang mengantar kepergian Salamun dan keluarganya.
Tak banyak yang dibawa dalam hatinya selain harapan agar keinginan anak-anak dan pak Tedjo terwujud meski dalam waktu yang sangat lama. Dan tentu dibawanya pula satu stopmap merah kusam berisi beberapa piagam penghargaannya yang tak lagi punya arti, selain hanya sebagai kenangan bahwa dia pernah menjadi yang terbaik di bidang pekerjaannya. Piagam yang tidak mungkin laku di pekerjaan barunya, sebagai kepala gudang sebuah perusahaan.
Surabaya, Desember 2009
Dipersembahkan kepada kawanku Guru