Mengapa kita suka membuat puisi, bersusah payah mengartikan puisi? Yang begitu sulit diartikan. Mengeja tiap katanya dan merangkai kalimatnya untuk menjadi bisa mengerti.
Saya medifinisikan puisi sebagai sekumpulan kata pilihan yang dirangkai dengan mempertimbangkan keindahan larik (rima), majas (metafora), makna dan irama (bunyi). Titik beratnya pada kata-kata yang dipilih. Dimana kata tersebut merupakan hasil dari perenungan, kotemplasi atau mungkin ide yang muncul secara tiba-tiba karena si Pembuat puisi merasa “mendapat mod “. Kata-kata yang merangkai puisi merupakan “kemasan” yang menggambarkan keadaan kehidupan si penulis dengan berbagai macam sudut pandang dan faktor-faktor yang mendorong.
Jadi, seperti pernyataan seorang sastrawan Rusia, bahwa ia lebih memilih menulis puisi ketimbang prosa bila hendak mengungkapkan pikiran secara sangat padat dan dengan kekuatan maksimal.
“Puisi? Karena jika kalian bisa membaca puisi, kalian bisa baca apa saja,”
Barangkali benar, bahwa bila kita bisa memahami puisi, maka kita akan bisa membaca apa saja (baca: kehidupan). Sebab puisi tak saja terdiri dari sekumpulan kata yang mempertimbangkan keindahan bunyi dan kiasan, tapi juga menyimpan tanda-tanda yang tidak secara langsung bisa ditangkap dan dicerna pembacanya. Maka, apabila kita terlatih membaca tanda atau kode di dalam puisi, kita pun bisa membaca setiap tanda yang kita jumpai.
Makna sebuah puisi memang sangat tergantung kapan puisi itu ditulis. Tidak saja kondisi sang penyairnya, tapi juga zamannya. Setiap membaca puisi-puisi Chairil Anwar, saya selalu menemukan kemuraman (sekalipun di dalam puisi “Aku” yang seringkali dibacakan dengan garang) – mungkinkah karena kehidupannya yang bohemian? Atau sajak-sajak Rendra yang menyuarakan kebebasan suara hati karena pembungkaman oleh pemerintahan orde baru yang represif. Dan kita pun dapat memahami, mengapa banyak penyair tua yang lebih banyak menulis puisi-puisi “rohani” – yang itu memberikan petunjuk tentang suasana psikologis dan kesadaran diri sang penyairnya. Sebagaimana halnya anak muda yang lebih suka menulis puisi cinta – yang kadang justru karena cintalah mereka mendadak menjadi seorang penyair yang romantis sekaligus gombal.
RODA DAN KAKI PERKASA
Hentakan pangkal telapak kaki
bergantian antara kanan dan kiri
melukiskan bilur memar
pada perjalanan nadi
bekasnya membesar
laksana air yang menyusur
sepanjang bibir tepian sungai
yang menyambut keringnya sendi kaki
pada akhir musim penghujan
Tiap sisinya memecah dan tebal
tak sempat memalingkan waktu
ketika bangkit tanpa gerakan
dari tiap hentak kayuhannya
yang coba lampaui bekas jejak
ada tapi tak mengikutinya
karena tersapu kepulan asap debu
dari beribu liang besi pembuangan
yang aromanya melukai paru-paru
Beban berat itu bersandar
pada pengayuh kedua kaki
semakin bersembunyi
karena kuatnya jiwa
dan oleh wajah-wajah lugu
dalam kemasan ketulusan
dan setia menyamarkan di balik pintu
Keletihan napas tak mampu lapangkan rongganya
yang tak diundang tapi mencoba menyapa
dan mengintip di sela tiap jeruji
penopang putaran roda pembawa usia
tiap pagi menjelang senja hari
hingga meregang dan segar lagi
Kadang roda mencoba lewati kubangan
sekedar menghindar menangkis celaka
saat azab mengajak seiring berkeliling
Kadang kecepatannya melesatkan hasrat
di antara gegap gempita
dan makian beribu kendaraan
yang mengurungku di belantara
Aku menghindar dari cahayanya
saat matahari mengajak bersahabat
dan menawarkan hangatnya
karena saat itulah aku merasakan
nikmatnya tak menyeka keringat
Aku tak merasa kehilangan harapan
Aku tak merasa kehilangan arti
Aku tak merasa di simpang kebimbangan
ketika rantai penggulung gigi sepeda
enggan dipaksakan memutar
untuk segera mengirimkan rohku
ke penghujung keinginanku
bersama rapuhnya tulang pengayuh
dan semakin berkaratnya
besi penyangga roda.