Rabu, 29 April 2009

PUISI AKHIR APRIL

PERJANJIAN

Kalau kamu ingin menikmati
tidak nikmatnya jantung kota
inilah waktunya
Kalau kamu ingin mendengar dan menebar
muluknya janji yang melambungkan jiwa
dan mungkin tak ditepati
sekaranglah saatnya
Kalau kamu ingin ledakkan serapah
Pada tiap wajah yang dijual murah
lewat foto-foto pada etalase pohon
lakukan sekarang
Kalau kamu ingin semakin dalam
menjerumuskan bangsamu
dan jika ada sedikit keinginanmu
mengangkat bangsa ini
dari setiap sendi kenistaan
sekaranglah waktu yang tepat
lewat nadi pemilihan
pesta pora lima tahunan bangsa ini
                   Surabaya, 29 April 2009



KEBUNTUAN


Tak kutemukan juga retaknya celah
Ketika anganku mulai meletup-letup
Dalam mendidihnya air di kepala
Dan buihnya melepuhkan hasrat
Mencoba menuang panas pada gelas
Untuk dihidangkan tapi bukan sesaji
Yang hanya membusuk
Di tiap sudut ujung dan tepi
Mengalirnya menyusur kepala
Mencoba merapat sampai ke muara
Busanya tak uapkan harum wangi
Karena tersumbat pada palang hati
Hasrat memuntahkan semakin jadi
Rasa mualnya menggigit ulu hati
Semakin lekatkan, tiap mata terkatub
Semakin kuat, erat kunci menutup
Persalinan waktu tak lahirkan angan
Semakin jauh menghabiskan waktu
Semakin lemah surutkan semangat
Dan angan itu menjadi lumpuh
                        Surabaya, 29 April 2009


ANAK PEREMPUANKU

(saat berada di lintas hari-hari ujian nasional
“Aku tahu anakku…,
kalau tiba di hari masa waktu
kau tak hiraukan cantikmu lagi
dan kau hanya coba hampiri
tiap bekal ilmu pemberian gurumu
yang kau simpan di botol minummu
lewat makin menumpuk seribu buku
dan tinggi di meja belajarmu

Aku menyadari buah hatiku…,
kau coba bawakan harapanku
lewat keranjang pada sepeda biru
yang anyamannya merenta
berkarat dan lepas termakan usia

Aku ingat manisku…,
berperantara sepatu lama
yang ujungnya semakin melukai
ibu jari kakimu
kau mencoba berlari membawa asa
agar cepat menggapai batas jiwa

Kau pertaruhkan segala anganmu
lewat pergumulan untuk lampaui
tiap ujung mata akal diuji “

Coba gelembungkan kesalmu itu, anakku
saat hari-hari seindah hari ini
Tuangkan semua bekal yang kau bawa,anakku
saat matahari sehangat hari ini

Kelak sinarnya yang bak permadani
akan kau daki dan telapaki
hingga dunia yang sebenarnya
tersenyum menghampirimu
                                                       Surabaya, 29 April 2009

Jumat, 24 April 2009

Mengintip Pendidikan Karakter di Sekolah

JANGAN REMEHKAN PENDIDIKAN BUDI PEKERTI (KARAKTER)

(MENGINTIP PROSES PENDIDIKAN BERPERILAKU)

Dalam rangka peringatan 120 Tahun Hari Pendidikan Nasional Indonesia

Oleh : Bambang Sumbogo

Pelajaran budi pekerti di beberapa sekolah yang selama ini tidak efektif karena “ditumpangkan” ke pelajaran agama, dituding sebagai penyebab rendahnya akhlak dan perilaku sosial siswa di lingkungannya. Kurangnya rasa hormat siswa terhadap guru dan orang tua, perkelahian antarpelajar, terjerumusnya siswa pada narkoba, berbagai kecurangan dalam mengikuti ujian, misalnya, merupakan tindakan yang berhubungan langsung dengan budi pekerti.

Kaitannya dengan merosotnya moral bangsa saat ini, seperti semakin merajalelanya korupsi, ini menunjukkan bahwa kita semakin lupa dan semakin tidak peduli dengan bagaimana seharusnya berbudi pekerti yang baik.

Seharusnya para siswa tahu bahwa perilaku seperti itu menyebabkan dirinya tidak dapat menamatkan sekolahnya, karena pada SK Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Depdiknas No. 64/c/Kep/PP/2000 telah dituliskan dengan jelas bahwa salah satu syarat kelulusan siswa adalah nilai budi pekerti. Pendidikan budi pekerti menjadi acuan untuk menentukan seorang siswa tamat atau tidak tamat sekolah.

Namun pada pelaksanaannya , pihak sekolah belum berani mengambil resiko berdasar diberlakukannya SK itu. Dan ini dimaklumkan, karena bagaimanapun juga pihak sekolah akan selalu mengambil kebijaksanaan yang menguntungkan siswa, apalagi siswa itu ada di jenjang terakhir sekolahnya. Dan hal ini dapat disebut sebagai pengingkaran realitas pendidikan budi pekerti. Dan jika terjadi, maka pengambil kebijaksanaan itu juga dapat dikategorikan sebagai yang tidak mempedulikan eksistensi pendidikan budi pekerti. Ironis memang.

Masih sangat jelas diingatan kita, bagaimana 16 kepala sekolah di salah satu provinsi di Indonesia ditangkap polisi karena membocorkan naskah ujian nasional, yang notabene adalah rahasia negara. Ini hanya satu kasus dari beberapa yang ada dan dilakukan oleh orang-orang yang seharusnya memahami budi pekerti.

Pendidikan budi pekerti adalah suatu proses pembentukan perilaku dan watak seseorang, sehingga dapat membedakan hal-hal yang baik dan yang buruk serta mampu menerapkannya dalam kehidupan. Pendidikan budi pekerti pada akhirnya akan membentuk karakter dengan parameter yang luhur adalah kesesuaiannya dengan norma, etika, dan ajaran agama yang dianut.

Budi pekerti adalah tindakan / tingkah laku (behaviour), bukan pengetahuan yang harus diingat, dalam proses pengajarannya guru tidak harus menerangkan teori-teori yang harus dihafalkan siswa.

Meskipun tidak diakui, tetapi pendidikan budi pekerti sangat menunjang terciptanya “kemudahan” guru dalam proses pengelolaan pembelajaran di dalam kelas. Karena karakter siswa sudah tercipta dengan baik.

Tetapi sayang, pendidikan budi pekerti ini seolah-olah dengan sengaja dipinggirkan dan tidak mendapatkan “jatah” jam tersendiri, bahkan di beberapa sekolah pendidikan budi pekerti hanya dititipkan pada pelajaran agama yang lebih menekankan pengajaran nilai-nilai agama kepada peserta didik. Sehingga berimplikasi pada semakin rendahnya budi pekerti siswa.

Karena kurangnya muatan nilai budi pekerti itulah para siswa tidak mendapatkan nutrisi norma-norma yang menjadi petunjuk dalam bergaul sesama siswa ataupun dalam masyarakat. Bahkan sebagian besar pelajar kita tercerabut dari peradaban easternisasi (ketimuran) yang beradab.

Memang pada pelajaran agama, bagian integral materi yang ada adalah pendidikan akhlak yang berperan membina moral peserta didik, kemudian menjadi sarana pendidikan budi pekerti. Apakah ini sudah dianggap cukup? Lihatlah hasilnya.

PENDIDIKAN KARAKTER (BUDI PEKERTI) ANTARLINTAS PELAJARAN

Sudah bukan hal baru lagi jika hampir di tiap sekolah, guru agama dan guru BP diberi wewenang untuk “mengajar” budi pekerti, sehingga muncul kesan kedua guru itulah yang bertangung jawab atas merosotnya akhlak dan karakter siswa.

Kita tentu lebih bijak dalam menangapinya. Karena selain kedua guru itu, guru lainpun sebenarnya tidak dapat lepas dari tangung jawab “mendidik” siswa dalam berbudi pekerti. Apakah mungkin, guru fisika akan membiarkan saja muridnya belajar di kelas sambil mengangkat kaki (jegang, bhs. Jawa), atau guru biologi akan membiarkan siswanya melakukan praktikum sambil duduk di meja? Tentu tidak. Di sinilah tiap guru, apapun bidang yang diajarkannya, mengambil peran menyampaikan pendidikan budi pekerti itu.

Untuk meningkatkan kedewasaan moral dan pembentukan karakter (budi pekerti) siswa, penyajian materinya sebaiknya dilakukan secara terpadu kepada dan di dalam semua pelajaran dengan melibatkan semua guru serta staff sekolah.

Tujuannya bukan sekedar menyiapkan peserta didik menelan mentah konsep-konsep pendidikan budi pekerti, tetapi yang lebih utama adalah terbentuknya karakter yang baik, yaitu pribadi siswa yang memiliki tindakan atau perilaku yang berbudi luhur dan mengacu pada moralitas individual yang berprestasi akademik. Jadi kita akan merasa malu jika mengambinghitamkan guru agama dan guru BP, karena benang merah tanggung jawab itu memang menghubungkan kita semua.

Bagaimana strategi muatan pendidikan budi pekerti pada tiap pelajaran

sekolah? Secara sistematis nilai-nilai budi pekerti diintegrasikan dalam materi pembelajaran. Dan untuk menumbuhkan nilai-nilai budi pekerti dalam diri siswa, penyampaiannya harus dalam suasana kondusif dalam kehidupan sehari-hari di sekolah. Guru dan seluruh staf sekolah harus mampu menjadi teladan insan berbudi pekerti luhur, baik dalam tutur kata maupun tindakan. Budi pekerti (karakter) bukan bersifat pelajaran melainkan proses pendidikan berbasis perilaku. Jadi budi pekerti / karakter itu tidak diajarkan seperti ilmu pasti atau sosial, melainkan pendidikan yang lebih mengedepankan contoh perilaku.

Kemudian jika setiap guru dalam mengajar di kelas itu banyak memberikan contoh perilaku yang baik, bersopan santun, menyampaikan dengan ucapan baik, dapat dikatakan guru itu sudah memberikan keteladanan berperilaku. Ingat! Bahwa setiap hari mereka melihat perilaku kita sebagai guru, dan itu berpengaruh besar terhadap budi pekerti mereka.

Semua pihak pasti menyepakati bahwa karakter atau budi pekerti anak didik kita sekarang ini akan menentukan keberhasilan hidup dan kelangsungan bangsa ini di masa mendatang, oleh karena itu tak dapat ditawar lagi, kita harus membentuk karakter dan budi pekerti luhur pada anak-anak didik kita, agar tidak lagi muncul berbagai kasus yang berhubungan dengan terjerembabnya moral dan budi pekerti seperti yang sudah-sudah.

HASIL PENDIDIKAN BUDI PEKERTI

“Bagai teman seiring” ungkapan ini tepat dipakai untuk mengambarkan dua subjek yang sama-sama mengelola karakter siswa, yaitu pendidikan agama dan pendidikan budi pekerti.

Yang membedakan adalah relasi diri terdidik (siswa) dengan implementasi hasil didikan yang telah diterimanya. Pendidikan agama lebih menekankan pada keyakinan akan kebenaran nilai-nilai agama yang dianutnya, sedangkan pendidikan budi pekerti memberi penekanan pada norma perilaku beretika dalam kehidupan berinteraksi. Pendidikan budi pekerti selalu dihubungkan dengan penghargaan terhadap diri sendiri, orang lain, dan lingkungan.

Jadi, seseorang yang berbudi pekerti berarti ia menghargai diri sendiri, orang lain, serta lingkungannya karena dengan demikian tergambar dengan jelas nilai-nilai ahklak seperti pada ajaran agama, apapun agamanya.

Dan pada penerapannya, perilaku siswa lebih cenderung pada sikap saling menghargai, saling menghormati, dan saling mengasihi baik dalam bertutur kata maupun bertingkah laku.

Oleh karena itu, sudah selayaknya kita memberi nilai khusus pada pendidikan budi pekerti ini, dengan cara memberi tambahan muatannya pada setiap pelajaran meskipun tanpa tambahan jam khusus. Dan akan lebih berhasil guna jika pihak penyelenggara pendidikan tidak menganaktirikannya, tetapi menempatkannya sejajar dengan pelajaran akademik yang lain.

Pada akhirnya karakter dan ahklak siswa akan terbentuk menjadi jati diri yang sebenarnya sesuai dengan norma kehidupan yang berlaku, dalam perspektif siswa yang berprestasi akademis. Iman sebagai dasar pembangun keyakinan dalam bingkai kebenaran dan pembangun relasi dengan Tuhan akan memperkokoh kepercayaan siswa terhadap Tuhan. Dan tentunya hikmat dari nilai-nilai pendidikan dan ajaran tentang kehidupan akan membentuk siswa menjadi manusia bijaksana dalam berpikir, berbicara, dan bertindak.

Selasa, 21 April 2009

AKANKAH TERANGNYA SEMAKIN MENYILAUKAN?


Mengenang 130 Tahun Si Trinil Kartini “Pendobrak Tradisi Pingitan” dari Jepara

Oleh : Bambang Sumbogo

Keriuhan panitia dalam merencanakan berbagai kegiatan, renggekan para siswa perempuan kepada ibunya untuk disiapkan sanggul dan baju kebaya, pertengkaran antara adik kakak karena berebut kosmetik untuk persiapan bersolek besok pagi karena “Kartinian”di sekolah, baik SMP maupun SMA, dan suara-suara fals dari bibir para peserta lomba paduan suara saat dengan bersemangat menyanyikan lagu “IBU KARTINI”, tidak pernah lagi terdengar. Yang sekali waktu masih tampak hanyalah “Kartinian” anak- anak SD dan TK. Itupun hanya oleh sebagian kecil sekolah di desa terpencil yang mungkin “masih memahami pentingnya nilai menghargai ”, dan itu pula kalau sekolahnya memang sudah memrogramkan dan mau melaksanakan.

Apakah hal ini yang dinamakan “ausnya” penghargaan terhadap apa yang telah diperjuangkan Si Trinil (Pangilan RA Kartini semasa kecil), setelah buah hasil pemikirannya dinikmati hampir sebagian besar perempuan di negeri ini? Atau hilangnya kesadaran bangsa akibat mendunianya berbagai hal dengan berbagai kemudahan? Atau mungkin pula, karena “kesetaraan” yang diperjuangkannya dahulu telah tercapai dan bahkan telah melampaui target hakikat “setara”?

Jika saja Si Trinil masih hidup saat ini, mungkin saja ia akan tersenyum penuh kebanggaan dan keharuan, karena kaumnya bukan lagi kaum yang hanya “wani ditata” (mau diatur), dan hanya berkodrat “ngrempu” dan “ngempu” (mengandung, melahirkan, dan merawat anaknya). Kaum Si Trinil sekarang telah menjadi kaum yang “wani nata” (berani mengatur) dan berkemampuan “ngampu” (mengatur, memimpin), hal ini jika kita lihat dari kata “wanita” dan “perempuan” hubungannya dengan sepak terjangnya yang dapat kita lihat dan rasakan saat ini.

Pengaruh Door Duisternis tot Licht dalam memotivasi perubahan kadar derajad perempuan terhadap dominasi kaum pria, sekaligus dirasakan sebagai energi pendorong dan pendobrak ketidakberdayaan wanita, bukan saja pada “hak” tetapi juga “kesempatan”.

Keinginan, tekad, dan semangatnya juga mengilhami para wanita Indonesia untuk mengambil peran tanpa harus merasa sebagai kaum lemah yang pantas dikasihani, tetapi justru melalui proses persaingan ketat dengan kaum pria. Keberanian wanita memasuki dunia persaingan seperti ini telah membuahkan hasil yang ternikmati oleh banyak orang.

Saat ini partisipasi wanita di Indonesia sangat intens , baik dalam dunia politik, sosial, ekonomi, dan kemasyarakatan. Bisa dikatakan dedikasi mereka dan pencapaian prestasi mereka tidak kalah dengan kaum pria. Peran wanita Indonesia ini tidak main - main, mereka banyak ikut berperan aktif dalam segala aspek. Misalnya dalam hal Pemberdayaan wanita, Perbaikan kualitas gizi masyarakat, dan lain sebagainya.

Berbagai hasil “kesetaraan” penting kaum perempuan Indonesia buah perjuangan si Trinil “Kartini” di abad ke-19, saat ini dapat kita jumpai misalnya :

1. Megawati Soekarno Putri
- Megawati merupakan satu-satunya wanita Indonesia pertama yang menjadi Wakil Presiden dan Presiden RI yang ke 5. Selama ini kekuasaan selalu di pegang oleh laki-laki. Megawati mampu menunjukkan bahwa wanita juga dapat berperan aktif serta berpartisipasi dalam dunia politik. Dia mampu mendobrak anggapan umum masyarakat selama ini bahwa wanita tidak dapat melakukan pekerjaan seperti laki-laki.
2. Moetia Hatta
-Mutia Hatta merupakan mantan mentri Pemberdayaan wanita pada Kabinet Indonesia Bersatu. Beliau juga merupakan salah satu antropolog perempuan yang selama 30 tahun ini concern keliling seluruh pulau di Indonesia. Beliau juga sangat proaktif dalam memperjuangkan hak - hak asasi wanita, serta memperjuangkan hak-hak para TKI wanita yang diperlakukan sewenang-wenang oleh majikannya. Selain itu juga aktif memperjuangkan nasib wanita yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga.
3. Sri Mulyani
-Sri Mulyani saat ini menjabat diposisi penting yaitu sebagai Menteri Keuangan Republik Indonesia. Beliau merupakan aset bangsa yang sangat tak ternilai yang dimiliki oleh Indonesia. Jangan meremehkan kinerjanya. Beliau ini memiliki segudang prestasi yang wow. Diantaranya Beliau menjabat sebagai Direktur Eksekutif
International Monetary Foundation(IMF) sebagai orang termuda di jajaran IMF. Tentunya jabatan ini bukan jabatan yang remeh dan mudah untuk diraih.Sebab haarus benar-benar harus orang yang kompeten untuk bekerja disana. Beliau juga salah satu inspirasi saya sebab beliau mampu memecahkan banyak permasalahan pelik keuanagn di Indonesia seperti melunasi salah satu utang Indonesia, serta mampu membuat kebijakan-kebijakan yang bisa mengatasi permasalahan Indonesia. Beliau termasuk Menteri keuangan yang wanita yang brilian yang dimiliki oleh Indonesia.
4. Ani Yudhoyono

-Ani Yudhoyono saat ini merupakan orang no 1 di Indonesia. Beliau merupakan istri dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Beliau turut aktif melakukan kegiatan sosial serta selalu mendampingi SBY pada acara - acara kenegaraan. Beliau juga turut berpartisipasi dalam permasalahan sosial seperti pendidikan , kemiskinan, dan bencana alam lainnya. Serta memberikan perhatian yang nyata pada korban bencana alam seperti Tsunami, serta bencana alam lainnya. Selain itu beliau juga turut memajukan dan memberdayakan wanita agar lebih valuable.
5. Dr. Pratiwi Sudarmono
Merupakan salah satu calon astronot perempuan Indonesia.
6. Titiek Puspa
-Merupakan penyanyi sekaligus seorang aktris. Di usianya yang sudah senja dia masih aktif dalam berkarya di dunia musik dan hiburan.
7. Siti Fadilah Supari
- Beliau merupakan Menteri Kesehatan RI. Beliau turut aktif untuk meningkatkan kualitas kesehatan rakyat Indonesia, serta melakukan berbagai kegiatan sosial bidang kesehatan.
8. Christine hakim
Merupakan aktris senior yang tidak diragukan lagi kemampuan aktingnya. Sudah banyak film yang diperankannya dengan penuh pnghayatan, sehingga tidak salah bila beliau mendapatkan banyak Achievement dalam dunia musik Indonesia.
9. Miranda Goeltom
-Miranda Goeltom merupakan direktur utama Bank Indonesia. Jabatan ini diraihnya bukan karena embel-embel nama keluarga, melainkan beliau secara mandiri mampu menduduki jabatan itu karena jerih payahnya selama ini.
10. Moeryati Soedibyo
- Moeryati Soedinyo merupakan wanita Indonesia yang sukses menjadi seorang enterpreneur yang produknya bisa menjadi produk nasional buatan Indonesia dan menjadi kebanggan tersendiri bagi Indonesia. Beliau memproduksi kosmetik yang bahan dasarnya berasal dari kekayaan alam Indonesia. Beliau mampu mensejajarkan produk kosmetiknya dengan kosmetik-kosmetik impor dan terkenal lainnya. Padahal beliau merintis usaha tersebut mulai dari nol. Beliau juga turut berpartisipasi dalam serangkaian kegiatan Putri Indonesia yang nantinya menjadi duta untuk Indonesia.

Mungkin si Trinil tidak menghendaki penghormatan atau penghargaan atas misi besar yang pernah diperjuangkannya sehubungan dengan perubahan kesetaraan dan derajad perempuan Indonesia. Akan tetapi, sebagai bangsa yang mengaku “bangsa timur”, seharusnya mengetahui maksud “ketimuran” itu, yaitu mengedepankan rasa hati, tahu berterima kasih, menghargai jasa orang lain, dan tentunya menghormati perjuangan bangsa sendiri.

Bagi wanita sendiri, dengan upaya awalnya itu kini kaum wanita di negeri ini telah menikmati apa yang disebut persamaan hak tersebut. Perjuangan memang belum berakhir, di era globalisasi ini masih banyak dirasakan penindasan dan perlakuan tidak adil terhadap perempuan.
Itu semua adalah sisa-sisa dari kebiasaan lama, yang oleh sebagian orang, baik oleh pria yang tidak rela melepaskan sifat otoriternya, maupun oleh sebagian wanita itu sendiri yang belum berani melawan kebiasaan lama.

Perjuangan “kesetaraan” telah di mulai oleh si Trinil Kartini dari pesisir utara Jepara. Tugas kita sekarang menumbuhkan kesadaran bangsa atas pentingnya “menghargai pahlawan bangsa” di seluruh penjuru Indonesia dalam semangat nasionalisme. Tidak perlu dirayakan, apalagi dengan hura-hura, tetapi cukup dengan mengaca diri “seberapa besarkah penghormatan dan penghargaan yang sampai saat ini pernah kita lakukan terhadap Trinil, perempuan bangsawan pendobrak tradisi pingitan, dari pesisir utara yang telah mau “mengasorkan diri” demi diakuinya sosok manusia wanita dalam kesetaraan dan derajadnya?”

Kamis, 16 April 2009

MEMERANGI PENJAJAHAN BAHASA INDONESIA DI LINGKUNGAN SEKOLAH

MEMERANGI PENJAJAHAN BAHASA INDONESIA DI LINGKUNGAN SEKOLAH

(sebuah keprihatinan terhadap terjadinya erosi bahasa Indonesia)

Dalam Hari Pendidikan Nasional, 2 Mei 2009

Bambang Sumbogo

Pak, panggilno Pak Bambang! Ambek siapa perginya? Yak apa ulangan saya Pak!

Bapake iki lho mbencekno! Pak, bukunya saya letakkan ndek atas meja! Lapo gak datang?

Bahasa-bahasa sejenis itulah yang hampir setiap hari terdengar dan akhirnya mengusik hati, karena merasa bahwa hal ini adalah akibat dari kurang berhasilnya pengajaran dan pendidikan bahasa Indonesia di sekolah.

Ironisnya lagi kalimat sejenis itu pula yang sering digunakan guru (termasuk guru bahasa Indonesia) meskipun situasi dan lingkungannya “sekolahan”, tempat kaum intelektual menerapkan intelektualitasnya. Dan jelas, ini merupakan cerminan rendahnya “intelektualitas berbahasa Indonesia” pada golongan yang seharusnya lebih memahami dan merasa menjadi bagian dari berhasil atau tidaknya pendidikan bahasa dan sastra Indonesia di bumi Indonesia.

Hal ini menjadi “bumerang” bagi para guru bahasa Indonesia. Bagaimana tidak, pengajaran bahasa Indonesia yang secara pragmatis selama ini berbasis pada tujuan “baik dan benar” telah menjadi slogan tak berarti. Bahkan telah menjadi bahan olok-olokan.

Hal ini bukan masalah penghakiman terhadap kesalahan berbahasa Indonesia, tetapi masalah tanggung jawab moral pemakai bahasa Indonesia sebagai bentuk penghargaan terhadap “ajining diri” kita sebagai suatu bangsa.

Suatu saat seorang teman guru bertanya, “Apakah anda merasa berhasil mengajarkan bahasa Indonesia?” Bagaimana akan terjawab jika realitas perkembangan bahasa Indonesia seperti sekarang ini keadaannya.

Apakah terpaan angin globalisasi sudah sedemikian dahsyatnya hingga mampu melapukkan tiap sendi kebangsaan termasuk memporak-porandakan bahasa? Dan pada akhirnya bahasa Indonesia hanya akan dikenang “pernah ada” dan masuk pada ranah pelajaran sejarah.

Memang bagi kita yang hanya tahu menggunakan bahasa, hal ini tidaklah menjadi prioritas untuk dipikirkan. “Hanya buang-buang waktu saja”, kata mereka.

Entah sadar atau tidak, bahwa selama ini kita “mengacak-acak” bahasa yang menjadi jatidiri sendiri, lalu lambat laun akhirnya bahasa Indonesia menjadi tidak berharga di mata pemakai dan pemiliknya sendiri.

Tangung jawab siapakah ini?Guru bahasa Indonesia? Bukan! Seluruh komponen bangsa yang hingga saat ini masih menggunakan bahasa Indonesia untuk berkomunikasi sehari-hari bertangung jawab atas eksistensinya.

Memang melalui guru ( lebih-lebih guru bahasa Indonesia), proses mengajari siswa berbahasa Indonesia yang baik dengan pola yang benar terus dilakukan , meskipun di satu sisi yang lain gempuran erosi kebahasaan makin kencang ditambah minimnya nasionalisme penutur bahasa Indonesia itu sendiri. Inilah yang seharusnya menjadi bahan keprihatinan “kaum berpendidikan”, akan kelangsungan bahasa dan budaya Indonesia.

Falsafah Jawa mengatakan “Ajining Diri Jalaran Soko Lathi Pribadi”, orang akan dihargai karena penggunaan bahasanya yang dapat diterima orang lain. Dalam arti, bahasa Indonesia yang dipakainya itu secara implisit bermuatan budi pekerti, menghargai komunikan lain, menempatkan orang lain dalam konteks penggunaan bahasa “lebih tinggi”, dan terstruktur dengan benar.

Sekedar contoh, kita akan mengajak teman sejawat makan di kantin, sebagai pengguna bahasa yang baik, tidak akan mengatakan “Kamu mau kuajak makan?”atau “Yuk, makan!” karena kalimat-kalimat itu tidak mengambarkan pencitraan penghargaan antarkomunikan. Bandingkan dengan kalimat “Pak/Bu mari kita makan!”.

Erosi kebahasaan yang dimaksud di sini, bukan hanya rusaknya tata (nan) bahasa, kuatnya aneksasi bahasa (penyerobotan bahasa), dan hilangnya penghargaan antarkomunikan, tetapi juga terkikisnya kepercayaan pemakai bahasa terhadap bahasa Indonesia itu sendiri.

Ini sudah terjadi dan akan terus berlangsung sampai kita terbangun dan benar-benar sadar bahwa kita memang memerlukan bahasa pemersatu bangsa yaitu bahasa Indonesia, bahasa nasional yang layak untuk dibanggakan. Mengapa harus menunggu? Tidakkah lebih baik bila mulai sekarang kita mencoba menempatkan bahasa Nasional Indonesia pada hakikat bahasa nasional yang sebenarnya, yang mewujud pada penggunaan yang benar dan tidak “ngawur”.

Jika hal itu dilakukan maka kita sudah melaksanakan sebagian tugas dan tanggung jawab sebagai warga bangsa Indonesia yaitu “Nguri-uri Kabudayan lan Basaning Bangsa”, melestarikan kebudayaan bangsa yang di dalamnya termasuk bahasa Indonesia. Dan pada akhirnya orang akan menilai dan meniru diri kita dalam berbahasa Indonesia, termasuk anak-anak kita di rumah, murid-murid kita di sekolah, dan orang lain dalam kehidupan bermasyarakat kita.

GURU DI SEKOLAH MENJADI FIGUR CONTOH ANAK DIDIK

Pernahkah anda mendampingi anak belajar di rumah? Ada kejadian yang membuat saya meyakini bahwa guru di sekolah itu memang benar-benar menjadi figur contoh bagi anak saya yang pada saat itu masih kelas 2 SD. Saat anak saya mengerjakan PR bahasa Indonesia, saya mencoba memberikan pengertian bahwa objek kalimat yang dibuatnya itu tidak harus Budi, tetapi bisa mengambil yang lain, misalnya: Tono, Yanti, atau yang lain. Apa yang terjadi? Anak itu tetap tidak mau menerima dan tetap menggunakan Budi sebagai objek kalimatnya. Ternyata ia mencontoh setiap kalimat yang dibuat gurunya, tanpa mau sedikitpun menerima masukan dari orang tuanya tentang pelajaran di sekolahnya. Dan dia selalu mengatakan “Menurut guru, . . . .

Dari contoh hal sederhana inilah muncul keyakinan bahwa apapun tindakan dan ucapan seorang guru di depan kelas akan selalu diikuti dan dipercaya siswa sebagai hal yang benar. Sehingga sudah sepantasnya bila guru juga mulai membiasakan diri “merapikan” bahasa Indonesia yang digunakannya di lingkungan sekolah, agar anak didiknya mencontoh dan meyakini bahwa bahasa yang digunakan gurunya itu baik dari segi pragmatisme bahasa dan benar dari segi tata aturan berbahasanya.

Mari kita didik mereka berbahasa yang bermartabat dengan memberikan contoh nyata menggunakan bahasa Indonesia yang bertanggung jawab di lingkungan sekolah kita sendiri. Dan pada akhirnya mereka juga menjadi contoh untuk generasi berikutnya, yang menyadari dan menghargai bahwa catatan sejarah bangsa Indonesia telah menetapkan bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa pemersatu, serta mengangkat bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa negara.