Aku menyadari buah hatiku…,
Aku ingat manisku…,
Kau pertaruhkan segala anganmu
Coba gelembungkan kesalmu itu, anakku
Kelak sinarnya yang bak permadani
SEKADAR TEMPAT MENUANGKAN PEMIKIRAN RINGAN TENTANG BAHASA, SASTRA, BUDAYA, PENDIDIKAN, dan KEBANGSAAN INDONESIA
JANGAN REMEHKAN PENDIDIKAN BUDI PEKERTI (KARAKTER)
(MENGINTIP PROSES PENDIDIKAN BERPERILAKU)
Dalam rangka peringatan 120 Tahun Hari Pendidikan Nasional Indonesia
Oleh : Bambang Sumbogo
Pelajaran budi pekerti di beberapa sekolah yang selama ini tidak efektif karena “ditumpangkan” ke pelajaran agama, dituding sebagai penyebab rendahnya akhlak dan perilaku sosial siswa di lingkungannya. Kurangnya rasa hormat siswa terhadap guru dan orang tua, perkelahian antarpelajar, terjerumusnya siswa pada narkoba, berbagai kecurangan dalam mengikuti ujian, misalnya, merupakan tindakan yang berhubungan langsung dengan budi pekerti.
Kaitannya dengan merosotnya moral bangsa saat ini, seperti semakin merajalelanya korupsi, ini menunjukkan bahwa kita semakin lupa dan semakin tidak peduli dengan bagaimana seharusnya berbudi pekerti yang baik.
Seharusnya para siswa tahu bahwa perilaku seperti itu menyebabkan dirinya tidak dapat menamatkan sekolahnya, karena pada SK Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Depdiknas No. 64/c/Kep/PP/2000 telah dituliskan dengan jelas bahwa salah satu syarat kelulusan siswa adalah nilai budi pekerti. Pendidikan budi pekerti menjadi acuan untuk menentukan seorang siswa tamat atau tidak tamat sekolah.
Namun pada pelaksanaannya , pihak sekolah belum berani mengambil resiko berdasar diberlakukannya SK itu. Dan ini dimaklumkan, karena bagaimanapun juga pihak sekolah akan selalu mengambil kebijaksanaan yang menguntungkan siswa, apalagi siswa itu ada di jenjang terakhir sekolahnya. Dan hal ini dapat disebut sebagai pengingkaran realitas pendidikan budi pekerti. Dan jika terjadi, maka pengambil kebijaksanaan itu juga dapat dikategorikan sebagai yang tidak mempedulikan eksistensi pendidikan budi pekerti. Ironis memang.
Masih sangat jelas diingatan kita, bagaimana 16 kepala sekolah di salah satu provinsi di
Pendidikan budi pekerti adalah suatu proses pembentukan perilaku dan watak seseorang, sehingga dapat membedakan hal-hal yang baik dan yang buruk serta mampu menerapkannya dalam kehidupan. Pendidikan budi pekerti pada akhirnya akan membentuk karakter dengan parameter yang luhur adalah kesesuaiannya dengan norma, etika, dan ajaran agama yang dianut.
Budi pekerti adalah tindakan / tingkah laku (behaviour), bukan pengetahuan yang harus diingat, dalam proses pengajarannya guru tidak harus menerangkan teori-teori yang harus dihafalkan siswa.
Meskipun tidak diakui, tetapi pendidikan budi pekerti sangat menunjang terciptanya “kemudahan” guru dalam proses pengelolaan pembelajaran di dalam kelas. Karena karakter siswa sudah tercipta dengan baik.
Tetapi sayang, pendidikan budi pekerti ini seolah-olah dengan sengaja dipinggirkan dan tidak mendapatkan “jatah” jam tersendiri, bahkan di beberapa sekolah pendidikan budi pekerti hanya dititipkan pada pelajaran agama yang lebih menekankan pengajaran nilai-nilai agama kepada peserta didik. Sehingga berimplikasi pada semakin rendahnya budi pekerti siswa.
Karena kurangnya muatan nilai budi pekerti itulah para siswa tidak mendapatkan nutrisi norma-norma yang menjadi petunjuk dalam bergaul sesama siswa ataupun dalam masyarakat. Bahkan sebagian besar pelajar kita tercerabut dari peradaban easternisasi (ketimuran) yang beradab.
Memang pada pelajaran agama, bagian integral materi yang ada adalah pendidikan akhlak yang berperan membina moral peserta didik, kemudian menjadi sarana pendidikan budi pekerti. Apakah ini sudah dianggap cukup? Lihatlah hasilnya.
PENDIDIKAN KARAKTER (BUDI PEKERTI) ANTARLINTAS PELAJARAN
Sudah bukan hal baru lagi jika hampir di tiap sekolah, guru agama dan guru BP diberi wewenang untuk “mengajar” budi pekerti, sehingga muncul kesan kedua guru itulah yang bertangung jawab atas merosotnya akhlak dan karakter siswa.
Kita tentu lebih bijak dalam menangapinya. Karena selain kedua guru itu, guru lainpun sebenarnya tidak dapat lepas dari tangung jawab “mendidik” siswa dalam berbudi pekerti. Apakah mungkin, guru fisika akan membiarkan saja muridnya belajar di kelas sambil mengangkat kaki (jegang, bhs. Jawa), atau guru biologi akan membiarkan siswanya melakukan praktikum sambil duduk di meja? Tentu tidak. Di sinilah tiap guru, apapun bidang yang diajarkannya, mengambil peran menyampaikan pendidikan budi pekerti itu.
Untuk meningkatkan kedewasaan moral dan pembentukan karakter (budi pekerti) siswa, penyajian materinya sebaiknya dilakukan secara terpadu kepada dan di dalam semua pelajaran dengan melibatkan semua guru serta staff sekolah.
sekolah? Secara sistematis nilai-nilai budi pekerti diintegrasikan dalam materi pembelajaran. Dan untuk menumbuhkan nilai-nilai budi pekerti dalam diri siswa, penyampaiannya harus dalam suasana kondusif dalam kehidupan sehari-hari di sekolah. Guru dan seluruh staf sekolah harus mampu menjadi teladan insan berbudi pekerti luhur, baik dalam tutur kata maupun tindakan. Budi pekerti (karakter) bukan bersifat pelajaran melainkan proses pendidikan berbasis perilaku. Jadi budi pekerti / karakter itu tidak diajarkan seperti ilmu pasti atau sosial, melainkan pendidikan yang lebih mengedepankan contoh perilaku.
Kemudian jika setiap guru dalam mengajar di kelas itu banyak memberikan contoh perilaku yang baik, bersopan santun, menyampaikan dengan ucapan baik, dapat dikatakan guru itu sudah memberikan keteladanan berperilaku. Ingat! Bahwa setiap hari mereka melihat perilaku kita sebagai guru, dan itu berpengaruh besar terhadap budi pekerti mereka.
Semua pihak pasti menyepakati bahwa karakter atau budi pekerti anak didik kita sekarang ini akan menentukan keberhasilan hidup dan kelangsungan bangsa ini di masa mendatang, oleh karena itu tak dapat ditawar lagi, kita harus membentuk karakter dan budi pekerti luhur pada anak-anak didik kita, agar tidak lagi muncul berbagai kasus yang berhubungan dengan terjerembabnya moral dan budi pekerti seperti yang sudah-sudah.
HASIL PENDIDIKAN BUDI PEKERTI
“Bagai teman seiring” ungkapan ini tepat dipakai untuk mengambarkan dua subjek yang sama-sama mengelola karakter siswa, yaitu pendidikan agama dan pendidikan budi pekerti.
Yang membedakan adalah relasi diri terdidik (siswa) dengan implementasi hasil didikan yang telah diterimanya. Pendidikan agama lebih menekankan pada keyakinan akan kebenaran nilai-nilai agama yang dianutnya, sedangkan pendidikan budi pekerti memberi penekanan pada norma perilaku beretika dalam kehidupan berinteraksi. Pendidikan budi pekerti selalu dihubungkan dengan penghargaan terhadap diri sendiri, orang lain, dan lingkungan.
Jadi, seseorang yang berbudi pekerti berarti ia menghargai diri sendiri, orang lain, serta lingkungannya karena dengan demikian tergambar dengan jelas nilai-nilai ahklak seperti pada ajaran agama, apapun agamanya.
Dan pada penerapannya, perilaku siswa lebih cenderung pada sikap saling menghargai, saling menghormati, dan saling mengasihi baik dalam bertutur kata maupun bertingkah laku.
Oleh karena itu, sudah selayaknya kita memberi nilai khusus pada pendidikan budi pekerti ini, dengan cara memberi tambahan muatannya pada setiap pelajaran meskipun tanpa tambahan jam khusus. Dan akan lebih berhasil guna jika pihak penyelenggara pendidikan tidak menganaktirikannya, tetapi menempatkannya sejajar dengan pelajaran akademik yang lain.
Pada akhirnya karakter dan ahklak siswa akan terbentuk menjadi jati diri yang sebenarnya sesuai dengan norma kehidupan yang berlaku, dalam perspektif siswa yang berprestasi akademis. Iman sebagai dasar pembangun keyakinan dalam bingkai kebenaran dan pembangun relasi dengan Tuhan akan memperkokoh kepercayaan siswa terhadap Tuhan. Dan tentunya hikmat dari nilai-nilai pendidikan dan ajaran tentang kehidupan akan membentuk siswa menjadi manusia bijaksana dalam berpikir, berbicara, dan bertindak.
Mengenang 130 Tahun Si Trinil Kartini “Pendobrak Tradisi Pingitan” dari Jepara
Oleh : Bambang Sumbogo
Keriuhan panitia dalam merencanakan berbagai kegiatan, renggekan para siswa perempuan kepada ibunya untuk disiapkan sanggul dan baju kebaya, pertengkaran antara adik kakak karena berebut kosmetik untuk persiapan bersolek besok pagi karena “Kartinian”di sekolah, baik SMP maupun SMA, dan suara-suara fals dari bibir para peserta lomba paduan suara saat dengan bersemangat menyanyikan lagu “IBU KARTINI”, tidak pernah lagi terdengar. Yang sekali waktu masih tampak hanyalah “Kartinian” anak- anak SD dan TK. Itupun hanya oleh sebagian kecil sekolah di desa terpencil yang mungkin “masih memahami pentingnya nilai menghargai ”, dan itu pula kalau sekolahnya memang sudah memrogramkan dan mau melaksanakan.
Apakah hal ini yang dinamakan “ausnya” penghargaan terhadap apa yang telah diperjuangkan Si Trinil (Pangilan RA Kartini semasa kecil), setelah buah hasil pemikirannya dinikmati hampir sebagian besar perempuan di negeri ini? Atau hilangnya kesadaran bangsa akibat mendunianya berbagai hal dengan berbagai kemudahan? Atau mungkin pula, karena “kesetaraan” yang diperjuangkannya dahulu telah tercapai dan bahkan telah melampaui target hakikat “setara”?
Jika saja Si Trinil masih hidup saat ini, mungkin saja ia akan tersenyum penuh kebanggaan dan keharuan, karena kaumnya bukan lagi kaum yang hanya “wani ditata” (mau diatur), dan hanya berkodrat “ngrempu” dan “ngempu” (mengandung, melahirkan, dan merawat anaknya). Kaum Si Trinil sekarang telah menjadi kaum yang “wani nata” (berani mengatur) dan berkemampuan “ngampu” (mengatur, memimpin), hal ini jika kita lihat dari kata “wanita” dan “perempuan” hubungannya dengan sepak terjangnya yang dapat kita lihat dan rasakan saat ini.
Pengaruh Door Duisternis tot Licht dalam memotivasi perubahan kadar derajad perempuan terhadap dominasi kaum pria, sekaligus dirasakan sebagai energi pendorong dan pendobrak ketidakberdayaan wanita, bukan saja pada “hak” tetapi juga “kesempatan”.
Keinginan, tekad, dan semangatnya juga mengilhami para wanita
Saat ini partisipasi wanita di
Berbagai hasil “kesetaraan” penting kaum perempuan
1. Megawati Soekarno Putri
- Megawati merupakan satu-satunya wanita
2. Moetia Hatta
-Mutia Hatta merupakan mantan mentri Pemberdayaan wanita pada Kabinet Indonesia Bersatu. Beliau juga merupakan salah satu antropolog perempuan yang selama 30 tahun ini concern keliling seluruh pulau di
3. Sri Mulyani
-Sri Mulyani saat ini menjabat diposisi penting yaitu sebagai Menteri Keuangan Republik
4. Ani Yudhoyono
-Ani Yudhoyono saat ini merupakan orang no 1 di
5. Dr. Pratiwi Sudarmono
Merupakan salah satu calon astronot perempuan
6. Titiek Puspa
-Merupakan penyanyi sekaligus seorang aktris. Di usianya yang sudah senja dia masih aktif dalam berkarya di dunia musik dan hiburan.
7. Siti Fadilah Supari
- Beliau merupakan Menteri
8. Christine hakim
Merupakan aktris senior yang tidak diragukan lagi kemampuan aktingnya. Sudah banyak film yang diperankannya dengan penuh pnghayatan, sehingga tidak salah bila beliau mendapatkan banyak Achievement dalam dunia musik
9. Miranda Goeltom
-Miranda Goeltom merupakan direktur utama Bank
10. Moeryati Soedibyo
- Moeryati Soedinyo merupakan wanita
Mungkin si Trinil tidak menghendaki penghormatan atau penghargaan atas misi besar yang pernah diperjuangkannya sehubungan dengan perubahan kesetaraan dan derajad perempuan
Bagi wanita sendiri, dengan upaya awalnya itu kini kaum wanita di negeri ini telah menikmati apa yang disebut persamaan hak tersebut. Perjuangan memang belum berakhir, di era globalisasi ini masih banyak dirasakan penindasan dan perlakuan tidak adil terhadap perempuan.
Itu semua adalah sisa-sisa dari kebiasaan lama, yang oleh sebagian orang, baik oleh pria yang tidak rela melepaskan sifat otoriternya, maupun oleh sebagian wanita itu sendiri yang belum berani melawan kebiasaan lama.
Perjuangan “kesetaraan” telah di mulai oleh si Trinil Kartini dari pesisir utara Jepara. Tugas kita sekarang menumbuhkan kesadaran bangsa atas pentingnya “menghargai pahlawan bangsa” di seluruh penjuru
MEMERANGI PENJAJAHAN BAHASA INDONESIA DI LINGKUNGAN SEKOLAH
(sebuah keprihatinan terhadap terjadinya erosi bahasa
Dalam Hari Pendidikan Nasional, 2 Mei 2009
Bambang Sumbogo
Pak, panggilno Pak Bambang! Ambek siapa perginya? Yak apa ulangan saya Pak! Bapake iki lho mbencekno! Pak, bukunya saya letakkan ndek atas meja! Lapo gak datang? |
Bahasa-bahasa sejenis itulah yang hampir setiap hari terdengar dan akhirnya mengusik hati, karena merasa bahwa hal ini adalah akibat dari kurang berhasilnya pengajaran dan pendidikan bahasa Indonesia di sekolah.
Ironisnya lagi kalimat sejenis itu pula yang sering digunakan guru (termasuk guru bahasa Indonesia) meskipun situasi dan lingkungannya “sekolahan”, tempat kaum intelektual menerapkan intelektualitasnya. Dan jelas, ini merupakan cerminan rendahnya “intelektualitas berbahasa Indonesia” pada golongan yang seharusnya lebih memahami dan merasa menjadi bagian dari berhasil atau tidaknya pendidikan bahasa dan sastra Indonesia di bumi Indonesia.
Hal ini menjadi “bumerang” bagi para guru bahasa
Hal ini bukan masalah penghakiman terhadap kesalahan berbahasa Indonesia, tetapi masalah tanggung jawab moral pemakai bahasa Indonesia sebagai bentuk penghargaan terhadap “ajining diri” kita sebagai suatu bangsa.
Suatu saat seorang teman guru bertanya, “Apakah anda merasa berhasil mengajarkan bahasa
Apakah terpaan angin globalisasi sudah sedemikian dahsyatnya hingga mampu melapukkan tiap sendi kebangsaan termasuk memporak-porandakan bahasa? Dan pada akhirnya bahasa Indonesia hanya akan dikenang “pernah ada” dan masuk pada ranah pelajaran sejarah.
Memang bagi kita yang hanya tahu menggunakan bahasa, hal ini tidaklah menjadi prioritas untuk dipikirkan. “Hanya buang-buang waktu saja”, kata mereka.
Entah sadar atau tidak, bahwa selama ini kita “mengacak-acak” bahasa yang menjadi jatidiri sendiri, lalu lambat laun akhirnya bahasa Indonesia menjadi tidak berharga di mata pemakai dan pemiliknya sendiri.
Tangung jawab siapakah ini?Guru bahasa Indonesia? Bukan! Seluruh komponen bangsa yang hingga saat ini masih menggunakan bahasa Indonesia untuk berkomunikasi sehari-hari bertangung jawab atas eksistensinya.
Memang melalui guru ( lebih-lebih guru bahasa
Falsafah Jawa mengatakan “Ajining Diri Jalaran Soko Lathi Pribadi”, orang akan dihargai karena penggunaan bahasanya yang dapat diterima orang lain. Dalam arti, bahasa Indonesia yang dipakainya itu secara implisit bermuatan budi pekerti, menghargai komunikan lain, menempatkan orang lain dalam konteks penggunaan bahasa “lebih tinggi”, dan terstruktur dengan benar.
Sekedar contoh, kita akan mengajak teman sejawat makan di kantin, sebagai pengguna bahasa yang baik, tidak akan mengatakan “Kamu mau kuajak makan?”atau “Yuk, makan!” karena kalimat-kalimat itu tidak mengambarkan pencitraan penghargaan antarkomunikan. Bandingkan dengan kalimat “Pak/Bu mari kita makan!”.
Erosi kebahasaan yang dimaksud di sini, bukan hanya rusaknya tata (nan) bahasa, kuatnya aneksasi bahasa (penyerobotan bahasa), dan hilangnya penghargaan antarkomunikan, tetapi juga terkikisnya kepercayaan pemakai bahasa terhadap bahasa Indonesia itu sendiri.
Ini sudah terjadi dan akan terus berlangsung sampai kita terbangun dan benar-benar sadar bahwa kita memang memerlukan bahasa pemersatu bangsa yaitu bahasa
Jika hal itu dilakukan maka kita sudah melaksanakan sebagian tugas dan tanggung jawab sebagai warga bangsa
GURU DI SEKOLAH MENJADI FIGUR CONTOH ANAK DIDIK
Pernahkah anda mendampingi anak belajar di rumah?
Dari contoh hal sederhana inilah muncul keyakinan bahwa apapun tindakan dan ucapan seorang guru di depan kelas akan selalu diikuti dan dipercaya siswa sebagai hal yang benar. Sehingga sudah sepantasnya bila guru juga mulai membiasakan diri “merapikan” bahasa Indonesia yang digunakannya di lingkungan sekolah, agar anak didiknya mencontoh dan meyakini bahwa bahasa yang digunakan gurunya itu baik dari segi pragmatisme bahasa dan benar dari segi tata aturan berbahasanya.
Mari kita didik mereka berbahasa yang bermartabat dengan memberikan contoh nyata menggunakan bahasa Indonesia yang bertanggung jawab di lingkungan sekolah kita sendiri. Dan pada akhirnya mereka juga menjadi contoh untuk generasi berikutnya, yang menyadari dan menghargai bahwa catatan sejarah bangsa Indonesia telah menetapkan bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa pemersatu, serta mengangkat bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa negara.