Selasa, 24 Februari 2009

Masih Puisiku

KEMATIAN SANG TEKAD


Keranda bambu yang di buat tetua desa
Masih terbuka tampak sunyi
Tikar pandan sudah tergelar
Dan bunga tujuh rupa
Setengah layu hilang aroma
Enggan ditaburkan
Kanan dan kiri
Empat tubuh kekar siap mengangkat
Dari ke empat ujung tak berpangkal


Kematian tekad terlanjur menyebar
Tersiar meski tak terdengar
Mendengar..tapi tak ada suara


Tak ada sorak tangis
Di sudut mata kerabatnya
Tak ada rasa dihampiri haru
Dupa terlanjur menebar bau
Menyesak di tiap hirupan
Mencoba memukul ketukan
Agar dibukakan iba


Tidak satu atau dua jiwa
Berpaling serapahkan duka


Kepekaan mereka kecewa
Kematian sang tekad
Membutakan banyak jiwa
Menjadi tanpa asa


Surabaya, 7 Januari 2009




HASRAT
 Keberdayaan mengangkat ketukan
Ketukannya semakin keras
Agak memaksa minta segera
Pintu terbuka tak di dalam
Pintu tertutup tak di luar


Jelaganya yang pekat mengemas hati
Semakin tak terkuasai
Menari dan menari
Melompat berjingkrak mempengaruhi


Ada harapan untuk bertahan
Meski bertahan artinya keterpurukan
Tak didukung lupa menahan


Hanya satu yang melihat
Dalam sorot tajam di ujung mata
Tatapan yang melelehkan
Meghancurkan untuk dileburkan
Setelah hasrat terjerembab


Ketajaman tatapan itu
Mengubah angan menjadi keinginan


Melakukan berarti
Memahat pada batu
Tak akan hilang jadi abadi


Tak tergerak berarti hidup
Dan akan lebih lama menikmati


Surabaya, 7 Januari 2009




TARIAN JARI USIA SENJA


Biarlah kertas berserakan
Beronggok menggunung
Asal keriput ujung pangkal jari
Jauh dari enggan
Dan dekat kepada hendak


Biarlah tarian jari menjadi
Menghidangkan imaji
Meski irama tak mengiring
Dan mata penonton tak mengerling


Tak ada pintu menganga
Sekalipun asa ada di muka
Dan tarian jemari menari
Menghentak membuka opini


Jari itu akan tetap menari
Hingga kuku yang tak pernah
Mengenal warna
Memanjang legam menghitam
Sampai harapan menyongsong senja


Surabaya, 12 Januari 2009




ADA DI UJUNG AJAL
Suara nafas tak lagi keras
Semakin terhitung luar kepala
Mata masih melihat warna
Tanpa ada yang mencoba nampak
Jantung masih meletup
Dentumannya tak lagi serempak
Rintihan hati masih merdu
Nyanyiannya tak terdengar
Wajahnya biaskan hidup
Dalam gambar pucat pasi


Derap kaki menghentak
Duta makin mendekat
Senandungnya membuai api
Siulannya menimang bara
Lebih lembut dari sutera
Lebih sayup dari hembusan angin


Saat hilang akal rasa
Kita kan terbawa selamanya


Surabaya , 12 Januari 2009


KEMENANGAN MATAHARI
(dalam selimut hujan)


Matahari segera ingin memancar
Mencoba mengurai binar dalam sinar
Rimbunnya awan gelap semakin tawar
Di tiap tetesan keringat yang terbakar


Kekuatannya mencoba mencabik
Agar ”mata”nya mampu menatap dunia
Meski gelap tak coba membaik
Merapat erat kuat di tikungan duka


Gelap telah merebut kuasa
Hingga terkapar tak berdaya
Raja siang tak lagi disebut
Kala pagi tak menghangatkan lagi
Teriknya tak pula mengelupaskan kulit
Tapi. . . “hari”mu masih punyaku


Panasnya tak coba sembunyi
Hangatnya tak hendak pergi
Titik pertemuan telah dijanjikan
Arak-arakan sekawanan awan
Berpekik sorak- sorai
Beriring tabuh genderang tanda perang
Sesekali ujung cemeti menimpali
Kaki-kaki segera berlari
Menepi
Menghindari
Awan merapatkan barisan
Tiap punggungnya menggendong cawan
Tinggal menunggu aba pimpinan
Isi cawan pun ditumpahkan
Kamipun menyingkir karena banjir.


Surabaya, 12 Januari 2009




BAWAH SADAR


Tak pernah sekalipun punya nyawa
tapi aku rasakan hidup
Tak pernah sekalipun bicara
tapi aku mendengar suara


Gegapnya retakkan rapuhnya dunia
Hembusannya buihkan samudera
Rayuannya liatkan kerasnya hasrat
Tajamnya melukai tiap jiwa


Berdarah tak warna merah
Dan luka sembuh sendiri


Biarlah tiap lidah jilati manismu
Dari pangkal rasa tak ke ulu hati
Hingga tersingkap selubung arti
Lalu cepat terungkap kelambu
Dan semua orang menjadi lebih tahu


Surabaya,12 Januari 2009




KESOMBONGAN
Mata tajamnya dibuat- buat
Tersekat gerigi berperisai besi
Sorotnya mengurai satu-satu
Coba temukan salah di azab
Menyusur tiap jejak tak dilangkah
Sudutnya memenggal tiap kepala
Hitamnya merobohkan lemahnya kaki


Kepala didongakkan tanda tak hirau
Tangan dikecakkan tanda kuasa
Lantang tapi tak kunjung menyerang
Fitnah diramu menyumbat angan


Rongga dada diangkat-angkat
dilempar tinggi lambungkan mimpi
Tatkala tiap jiwa yang ditemuinya
Membungkuk membuka topi


Semakin tinggi rongga terangkat
Nian kencang angin menerpa
Tak berimbang tangan berpegang
Tapi terlepas dan terhempas keras
Jatuh
Tak tertolong


Surabaya, 13 Januari 2009




UNTUK ANAK-ANAKKU
Peluit terlanjur kubunyikan, anakku
Tertiup dari bibirku yang mulai kering
Gemanya memantul di tiap dinding kelas
Dan pada helai tiap sampul buku


Bendera terlanjur kukibas, anakku
Terlempar dari tanganku yang melapuk
Kibarnya teduhi tiap ujung pena
Dan pada kapur tulis berdebu


Berlarilah. . .segeralah berlari
Lihat. . .banyak kaki ingin mendahului
Berlarilah mengitari bumi
Di sanalah pita akhir garis kau temui


Abaikan dulu kulit putihmu
Jangan takut luka di lutut
Simpan dulu rupawanmu
Biar tak pendar lalu berkerut


Tak usah air membasuh wajah
Saat pantang hampir menyerah
Kemudi menuju arah
Meski langit tak cerah
Dan napas mulai terengah


Setibamu di batas akhir pelarian
Bawakan saja aku kisahmu itu.


Surabaya, 13 Januari 2009




ANTARA ANAK, DAN MURIDKU


Rambut yang tegak satu-satu
tebalnya sama menutup setengah kepala
bak penutup kepala adat jawa Surakarta
menutup kening menangkal kemilau


persis seperti anak lelakiku


Mata yang enggan membuka
karya maha tinggi pemilik bumi
hampir tak menampakkan sudut
hitam putihnya tak nampak kerut


sama seperti anak lelakiku


berkulit putih warna merah menyamar
tak berpori tapi berlulur sampai ke akar
pucat mengkilat laksana mayat
tebal kuat tak mudah tersayat


mirip seperti anak lelakiku


sedikit hati rasa menghargai
jauh dari rasa peduli
tiada tertanam norma etika
saat bibir bertegur sapa


jauh seperti anak lelakiku


angkuhmu tikam nadi kesabaranku
ramahmu merobek niat suciku
tinggi hatimu makin jauhkan kaki langit
senyum manismu tawarkan rasa pahit


semakin menjauh dari rupa manis anakku
Kalian berdua tak jauh beda
punya angan rasa dan dunia
tapi belum berada di tempatnya
angan dari goresan tinta warna
indah tanpa pigura
peka rasa tak dari hulu
mulai menikmati hidup
sedikit pun tak berasa gugup
dari dunia yang tipis batasnya


Mengertilah
Akan hidup


Surabaya, 19 Januari 2009






ISTRIKU
( perempuan kiriman Tuhan)
 Dari keterbatasan dan tak berdayanya diri
untuk membawa desah sengal napas
agar tetap hidup
Tak pernah kamu merasa tak cukup


Dari tidak adanya kemampuan diri
menyuapi mulut dari hari ke hari
tak kudengar isakan tangis tahir
dari mata tak mengalirkan air


Dari kurangnya kasih kuberikan
pada anak-anak buah cintaku
kulihat kau peluk mereka selalu


Kau memahat hidup mereka dengan jiwa
membuka katub jendela tak berkaca
membasuh kaki- kaki sampai ruas jari
tatkala aku tetap mencoba berdiri


Belum pernah aku mendengar
kemerduan keluh kesah kisahmu
tari-tarian rampak menyambut sesak
hingga kecantikanmu memudar
dan kerinduan menghampiri raga ini


Maafkan, jika dipundakmu
kutitipkan rentang waktu
hingga tak kuasa untuk berlalu
dan cadar penutup merampas cantikmu


Sampai aku mulai percaya
Dan bersujud syukur
Tuhan mengirimkanmu
Untukku


Surabaya, 20 Januari 2009