ANAK-ANAKKU YANG MENUNGGU
Tangan-tangan mungil mereka
berjajar di tepi bibir teras
dan mulut-mulut kecil itu
selalu bersenandung
nyanyian yang tak pernah
jelas nada dan katanya
Yang ada
hanya harapan tulus
dalam hati mereka
“Kapan bapak pulang?”
dan mulut tulus kecil itu
akan menumpahkan kerinduannya
lewat tangan kecil mereka pula
dagu mereka belepotan
bekas minyak
dari makanan kampung
yang digoreng ibunya
dan sisa es krim kampung
yang dijaja keliling
Lama wajah-wajah itu
berharap
tapi sang bapak
tak juga tampak
hingga larut
Esoknya akan tetap seperti itu
sampai yang ditunggu
datang memecah haru
(Surabaya, 18 Oktober 2008)
MATI RASA
Aku merasa kehilangan rupaku
tak lagi diriku yang dulu
Air tak lagi tampak rasa
Suara tak lagi
memekakkan telinga
Tak ada lagi warna dalam kepala
Tak lagi panas yang melepuhkan
Tak lagi dingin yang membekukan
Tak lagi iba mengharukan
karena aku
Mati rasa
(Surabaya, 18 Oktober 2008)
KEBOSANAN 1
Mereka tahu ketika hati mereka tak menebarkan aroma
agar setiap mata mampu membagi sudutnya
lantas beralih pandangan sampai semua jelas terlihat
terbaca meski tak tampak tak berupa
Mereka tahu hatinya tersimpul tali
yang tidak mudah dilepaskan
hingga penat memenuhi tiap lorong sanubari
Simpul yang ujungnya tak mungkin ditemukan
apalagi terurai lepas
Karena meski kami tahu
untuk saat ini terlalu berat
untuk menghindar dan berlari
(Surabaya, 18 Oktober 2008)
KEBOSANAN 2
Yang berkali-kali
semakin dilakukan
yang ini berulang kali
lagi dan lagi
semakin lagi
tak berarti
dan menjadi mati
(Surabaya, 18 Oktober 2008)
MERASA HIDUP
Setiap datang masa angka akhir tanggal
Tarikan napas pun tak lagi terengah
Bahkan tak ada tanda bersuara
Tak dihembus
Jiwa mengejan membisikkan
Tahan. . . .
Keringat memaksa agar tetap menyusuri
Tiap lorong pori-pori
Menjalar dalam perut yang terulur
Saat mata penerang hari terkubur
Dan nasi berasa bubur
Harapan agar mulai hitungan baru
Segera datang berusaha memeluk
Napas aroma pengap terasa
Mulai teratur
Menjadi hidup
Dalam udara yang belum terhirup
(Surabaya, 22 Oktober 2008)
JUGA AKAN SEPERTIKU
( surat untuk anak-anakku)
Mengapa kerut di dahi ayahmu ini
Bertambah sebaris setiap hari
Kamu tak perlu melihat anak-anakku
Mengapa wajah ayah tak lagi cerah
Kamu tak perlu heran anak-anakku
Mengapa ibu bangun paling pagi
Dan tidur kembali saat hening sunyi
Kamu tak perlu bertanya anak-anakku
Mengapa tiada habis beras ibu
Nikmati saja anakku, jalani. . . .
Satu harapan kami
Tunjukkan
Jika suatu saat nanti
Jiwamu telah memahami
Segera ceritakan pula
Pada cucu-cucuku
(Surabaya, 22 Oktober 2008)
DALAM PUTIHMU
Aku mencoba berputar-putar
Merangkai bunga kata merajut risau
Untuk kusematkan di rambutmu
Yang kadang tak benar nyata
Tak benar warna
Memenuhi hasrat tak bertemu arti
Aku mencoba berlari-lari
Menyiram asa membasah nadi
Untuk menyegarkan jemari
Yang kuyu tak berpori
Agar tak mati
Kutarik mencoba menghardik
Kuku panjangku melukai kulitmu
Tapi darah tak menetes merah
Tapi luka enggan membuka
Aku malah takut
Jika engkau tak lagi punya jiwa
Karena akan sia-sia
Gemeretak gigi-gigi
Di setiap pagi
(Surabaya, 23 Oktober 2008
KEINGINAN
Ingin sekali geram ini
Segera saja
Meludahi jiwa mereka
Biar makna hidup ini berarti
Segera memahami
Sendiri
Sebagai tanda bagi mata
Dan hati
Bahwa hidup ini bertabur makna
Segera poleskan pada jiwanya
Harumnya rempah yang beraroma
Nian tercium oleh indera
Dan tersebar pada tapak-tapak
Dalam setiap jejak
Kelak jiwa nan penuh
Rempah aroma nan menyebar
Mampu berdiri tegak
Membatu
Dan keras